8

2.2K 493 35
                                    

Indira bukan seperti Indira. Hijabnya berantakan, tatapannya kosong, bergerak hanya karena dipapah dengan sabar oleh Raleine. Siapa yang tidak terpukul ditinggal begitu mendadak oleh orang yang disayangi.

Nathan, Risa, dan Zaid sampai di Bandung pukul delapan pagi, langsung menuju kediaman Dipta untuk ikut mengantar hingga ke pemakaman. Ketika orang tuanya mengucapkan bela sungkawa kepada orangtua Dipta (dan menimbulkan kehebohan sejenak mengingat siapa sebenarnya mereka), Nathan melipir untuk menemui kakaknya.

Saat itu Nira berdiri bersama Gio, menemani Indira yang duduk bersama adik Dipta. Keduanya sama-sama terlihat kacau. Sama-sama mengenakan pakaian dan hijab seadanya. Bedanya, adik Dipta terus meneteskan air mata, sementara Indira hanya diam.

Nathan menyapa Nira, memeluknya sebentar, bertanya apakah mereka semalaman di sini. Nira bilang mereka semua pulang kecuali Indira yang menginap di sini. Bada Subuh mereka datang kembali ke rumah Dipta, sekaligus mengingatkan Indira untuk mandi dan sarapan.

Iring-iringan pengantar jenazah begitu ramai. Keluarga, tetangga, teman-teman Dipta di SD, SMP, SMA, dan kuliah banyak sekali yang datang. Melihat ini, Nathan tahu bahwa Dipta adalah sosok yang sangat baik. Begitu banyak orang yang kehilangan ketika dia pulang untuk selamanya. Banyak yang meneteskan air mata ketika mengingat sosok Dipta.

Nathan terdiam. Dia berada di iring-iringan mobil di bagian belakang. Kali ini Nira dan Gio ikut bersama mereka. Indira ditemani Raleine di mobil keluarga Dipta. Orang tua Gio, Indira, Raleine, di mobil lainnya, tepat di belakang mobil keluarga Dipta.

Proses pemakaman Dipta kembali diiringi isak tangis tertahan. Katanya jangan menangisi yang telah tiada karena mereka akan merasa berat untuk pergi. Tapi melihat sosok kesayangan kita dimasukkan ke dalam liang lahat, siapa pun pasti sulit menahan kesedihannya. Apalagi Sang Ibu. Dia yang mengandung dan membesarkan, paling tahu tentang anaknya. Ibu Dipta saling berpelukan dengan adiknya, menangis tersedu dan sesekali memanggil nama Dipta.

Hati Nathan ikut terenyuh. Namun ibu dan kakaknya yang ikut menangis. Nira menangis di pelukan Gio dan ibunya menangis di pelukan ayahnya. Melihat itu, Nathan rasanya ingin mendekat ke pusat pemakaman, menyediakan bahunya untuk menjadi tempat Indira menangis.

Tapi tidak mungkin.

Masih ada Om Haris yang lebih sesuai mengemban tugas itu. Atau untuk saat ini, Raleine yang masih tak berhenti memeluk dan mengelus pundak Indira.

Pengantar sedikit demi sedikit berkurang hingga hanya ada keluarga dan orang terdekat Dipta yang tersisa. Saat itulah reaksi Indira berubah. Tadi Indira bersedih dalam keheningan, sekarang isak tangisnya semakin keras terdengar. Seruannya memekakkan telinga dan menyakitkan hati. Dia tidak berhenti memanggil nama Dipta.

"Akang kan janji mau selesein skripsi cepetan."

"Akang juga janji abis ini mau ngelamar ke Mama dan Papa."

"Kita mau jalan-jalan kan Kang?"

"Masih ada resep yang Akang mau aku coba buat masak."

"Akang kenapa pergi? Kenapa? Nanti Akang muncul di belakang aku sambil ketawa kan? Kamu kan suka gitu..."

Indira berlutut di samping pusara yang masih basah.

"Indira, Indira, sssh," Raleine menarik-narik tangan Indira, kali ini ikut menangis. Sambil mengusap air matanya, sambil menenangkan Indira. "Indira, udah yuk. Dipta mau istirahat."

"Kang Dipta suka jailin aku, Kak. Ini pasti bohong kan?" Tangan Indira memegang lengan Raleine begitu erat sampai Raleine meringis. Tapi dia tidak bersuara. Hanya menggeleng.

Seyakin Hati Memilih - END (GOOGLE PLAY)Where stories live. Discover now