Prolog

183 43 20
                                    

"Dih, dasar miskin!"

"Bener tuh. Udah miskin, murahan lagi."

"Kalo gue sih ya mendingan jadi jelek dari pada jadi kayak dia."

"Hahaha bener banget. Daripada dia, cantik tapi ternyata palsu. Mana murah lagi astaga."

"Hooh. Nih ya, yang ada cowok-cowok ilfeel sama dia."

"Jiah, gue cewek aja ilfeel. Ogah gue deket-deket."

Semua makian dan hinaan itu terus terlontar, berebutan menusuk hatinya. Dia terduduk tak berdaya di tengah-tengah orang-orang biadab yang kini berdiri mengelilinginya. Semuanya tertawa lepas dengan wajah puas, seolah-seolah ia adalah manusia hina sehingga pantas diperlakukan seperti ini.

Rasanya ingin sekali menutup telinga serapat mungkin agar tak mendengar apa pun. Sayang, semua suara sumbang yang sangat nyaring itu memaksa telinganya untuk terus mendengar makian demi makian yang mereka ucapkan.

Bahunya bergetar kencang menahan tangis yang serasa ingin meledak. Semua perlakuan itu membuatnya tumbang. Lagipula, siapa yang akan kuat di bully ramai-ramai seperti ini?

Dalam tangisnya, ia tak henti-hentinya bertanya-tanya. Mengapa semua orang menggunjingnya? Memang salah kalau dia ingin meraih kebahagiaannya sendiri sebelum masa putih abu-abu ini berakhir? Meskipun ia juga sangat menyadari kalau caranya salah, ia rasa orang-orang biadab itu tak berhak melakukan ini padanya.

Andai saja ia punya kekuatan dan keberanian, sudah dari tadi ia balas satu persatu mulut-mulut sialan itu lalu pergi dari kerumunan orang-orang biadab ini. Tapi boro-boro melawan dan pergi, untuk menutup telinga saja dia tak mampu. Dan bagai seorang yang kalah dan mengaku salah, ia duduk diam. Membiarkan semua orang mengeroyok dirinya.

Dan saat semuanya terasa mati rasa dan hampir kehilangan kesadaran, tiba-tiba kerumunan itu terbelah dan muncullah seseorang yang kehadirannya bak pahlawan.

Semuanya mendadak bungkam. Sorak sorai yang bising itu seketika lenyap bagai disapu angin.

Tak mempedulikan semua pasang mata yang menyorotinya, orang itu mengulurkan tangannya. "Ayo pergi. Lo nggak pantes ada di tempat ini dan diperlakuin dengan kurang ajar kayak gini."

Dia tertegun, orang ini ... yang sudah ia sakiti hatinya berkali-kali tapi masih sudi menolongnya. Tangisnya makin kencang, ia merasa sangat bersalah sekali. Andai saja ia tak buta cinta, andai saja ia percaya, dan andai saja ia tak punya obsesi sialan ini. Andai, andai, dan andai.

Semua kata pengandaian itu terus berputar-putar, menjadi boomerang untuknya. Namun, yang namanya penyesalan memang selalu datang terlambat. Saat manusia sudah berada dititik bawahnya, baru dia akan sadar dan menyesal.

To be continued

****

Wow, itu dia prolognya. Udah lama nggak nulis, jadi agak kaku, xixixi.

Sampai jumpa di part berikutnya^^

Unexpected Ending Where stories live. Discover now