29

48 8 14
                                    

Jika pagi hari kemarin Aneska sambut dengan senyum merekah, maka tidak dengan pagi hari ini yang Aneska sambut dengan hati gundah.

Sekarang tak ada lagi kebahagiaan, bahkan senyum bahagia. Sebab, yang terus ia rasakan hanyalah kesedihan yang mendalam.

Ia masih tidak habis pikir, bagaimana bisa semuanya terjadi begitu saja? Tanpa aba-aba, tanpa tanda-tanda. Ia yang tak tahu apa-apa seketika terhempas oleh kenyataan menyakitkan ini.

Membuat Aneska begitu terpuruk, sampai-sampai rasanya semua mati rasa. Hari kemarin saja Aneska lupa bagaimana melaluinya.

Seingatnya, setelah bertengkar hebat dengan Divka dan Arza, Aneska kembali ke kelas dengan bully-an yang terus mengiringinya. Rula dan Findi yang mendiamkannya, dan Divka yang ia tak anggap kehadirannya.

Aneska lalui hari kelam kemarin dengan terus diam di dalam kelas. Dengan terus mencoba menebalkan telinganya agar tak terlalu mendengar suara-suara sumbang yang terus mengganggu.

Pun sesampainya di rumah, seharian Aneska mengurung di kamar. Tak mempedulikan Esti yang bertanya-tanya heran akan sikap anehnya.

Dan untuk hari ini ... entahlah. Aneska bahkan rasanya tidak punya tenaga untuk memikirkan apa yang akan terjadi hari ini. Sebenarnya ia ingin bolos saja, tapi takut nanti memperkeruh keadaan.

Dan dengan hati yang mencoba setegar baja, Aneska melangkah masuk ke sekolah dan berlanjut masuk ke kelas dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Meski suara bully-an itu kembali mengusik telinganya.

Namun, sebelum sampai ke kelas Aneska dibuat heran saat melewati mading sekolah yang ramai akan orang-orang. Mendadak firasatnya merasa sangat tidak enak.

Ada apa lagi ini?

Dengan penasaran dan hati berdebar-debar, Aneska melangkah mendekat. Dan seketika itu juga kerumunan itu terbelah menjadi dua saat Aneska tiba, seolah memberi gadis itu ruang.

"Nah ini dia orangnya udah dateng. Coba deh lo kasih klarifikasi atas semua ini," celetuk salah seorang siswi yang tak Aneska kenal. Diikuti anggukan oleh semua orang yang berada di situ.

Tak hanya itu, tatapan jijik pun kembali menguar, bahkan lebih dari yang kemarin.

Aneska mengerenyit. Klarifikasi apa? Ada apalagi ini?

Tak menyahut, Aneska makin mendekat pada mading tersebut. Ada sebuah kertas yang dipajang di sana. Kertas apa itu?

Dan Aneska kembali merasa dunianya runtuh saat tahu kertas apa yang dipajang.

Sebuah kertas yang dicetak yang isinya adalah curhatan tentang perasaannya pada Arza. Curhatan-curhatan ini Aneska tuliskan di buku harian sewaktu kelas sepuluh dan berhenti saat naik ke kelas sebelas karena merasa malu dengan dirinya sendiri.

Isi tulisan itu begitu memuja Arza, membuat Aneska menyembunyikan tulisan itu karena tak sanggup melihatnya sebab terlalu alay. Dan kini, tulisan laknat itu malah dipajang di mading dengan banyak orang yang sudah melihatnya?!

Tolong, Aneska merasa tidak punya muka sekarang.

Dengan cepat ia membuka kaca mading. Tapi sial, kaca tersebut terkunci. Aneska mengerang frustrasi.

"Siapa yang berani pasang ini di sini? I-ini, bukan punya gue. Gue nggak pernah nulis ginian," ucapnya keras seraya terus menggebrak kaca itu.

"Masih ngelak juga? Lo nggak liat itu ada nama lo di situ? Nama lo Aneska, kan?"

Cibiran dari seseorang yang Aneska juga tak kenal itu membuat matanya meneliti kertas itu. Benar saja, ada namanya di pojok kiri bawah.

Aneska kembali merasa kepalanya tertimpa bebatuan, yang jumlahnya juga beratnya lebih banyak kemarin. Ya Tuhan, tidak cukupkah kejadian kemarin hingga curhatan di buku hariannya ikut terbongkar juga?!

Unexpected Ending Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang