2

114 30 43
                                    

Yuuhu Aneska dateng lagi, nih. Happy reading, ya^^

Okay, just 3 random questions before you start reading.

1. Kalian pernah di bully? Kalo iya, gara-gara apa?

2. Tim punya banyak temen atau nggak?

3. (Khusus cewek) menurut kalian sendiri, kalian termasuk orang yang feminim apa tomboi?

Only that, bisa di skip kalo kalian males atau nggak mau jawab.

Yeah, here we go.

****

Semalam, Aneska tidak bisa tidur. Bayang-bayang ucapan Rula dan Findi kemarin begitu membelenggu dirinya hingga membuatnya baru bisa memejamkan mata setelah adzan subuh berkumandang.

Pikirannya terus bertanya-tanya akan satu hal. Seburuk itukah wajahnya di mata mereka?

Ia akui, dirinya memang punya wajah jelek. Ditambah dengan jerawat yang hinggap di mana-mana. Namun, tak sepantasnya Rula dan Findi mengritiknya hingga seperti kemarin, kan?

Lagipula, punya wajah yang buruk seperti ini bukan kemauannya. Kalau boleh jujur ia juga tak mau punya wajah seperti ini dan punya wajah cantik seperti mereka.

Belum lagi steorotipe sialan yang selalu mereka sebutkan. Perempuan itu harus cantik, putih, dan feminimin. Dan memang, ia tidak memiliki satupun dari ketiga hal tersebut.

Setelah selesai berbenah, Aneska keluar kamar dengan wajah sayu dan mata sepat. Sebab hanya tidur selama satu setengah jam, kini tubuhnya terasa lemas luar biasa.

Kalau saja ia tak harus ke sekolah untuk mengembalikan buku paket yang ia pinjam di perpus, pasti sekarang dirinya sedang bergelung di kasur yang nyaman di bawah gulungan selimut.

"Loh? Mau ke mana? Bukannya udah libur, ya?" Esti yang sedang memasak, sedikit terkejut melihat kehadiran anaknya yang mengenakan seragam sekolah.

Aneska menguap sekali sebelum akhirnya menjawab, "Iya. Neska cuma mau balikin buku ke perpus kok. Lupa pas PAS kemaren belom dibalikin."

Dia lalu mendekati Ibunya yang sedang menggoreng tempe. "Neska berangkat dulu ya, Bu," pamitnya mengulurkan tangan, bermaksud untuk menyalami tangan sang Ibu.

Esti meletakkan sejenak penggorengan yang ia pegang lalu menghadap anaknya. "Iya, kamu nggak mau sarapan dulu?"

Aneska menggeleng. "Nggak, Neska cuma bentar kok perginya. Assalamualaikum." Ia akan berjalan pergi kalau saja tiba-tiba Esti tak menahan tangannya dan menatapnya dengan intens.

"Bentar, itu ... wajah kamu numbuh jerawat lagi?"

Aneska langsung menghela napas lelah. Kenapa sih harus jerawatnya yang menjadi pembahasan? Kemarin Rula dan Findi, sekarang Ibunya. Lalu nanti, besok, siapa lagi yang akan menyinggung jerawatnya?

Tak bisakah mereka cukup diam saja tanpa berkomentar karena tanpa mereka bilang pun ia sangat tahu kalau jerawat di wajahnya bertambah banyak.

Tapi semua keluhan itu hanya bisa Aneska serukan dalam hati. Karena kini ia mengangguk enggan menganggapi Esti. "Iya, Bu."

"Ya ampun pantesan. Kamu perawatan apa gitu Nes, biar mendingan. Jangan cuek-cuek banget sama wajah sendiri. Dengan kondisi wajah yang kayak gini kamu emangnya nggak malu?" lirih Esti menatap Aneska iba.

Aneska menggeleng. "Nggak, Bu. Kan yang penting fisik Neska yang lain normal. Dan yang lebih penting lagi, Neska pinter. Dua kelebihan itu udah cukup buat nutupin rasa malu gara-gara wajah Neska yang nggak karuan ini," balasnya mencoba yakin.

Unexpected Ending Where stories live. Discover now