1

199 32 41
                                    

Hallo, apa kabar? Semoga aku dan kalian sehat selalu, ya^^

Okay, just 3 random questions before you start reading.

1. Definisi cantik buat kalian apa, sih?

2. Kalo disuruh milih, kalian lebih milih jadi cantik apa pinter?

3. Standar kecantikan menurut diri kalian?

Only that, bisa di skip kalo kalian males atau nggak mau jawab.

Yeah, here we go.

****

Turun dari motor matic yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun di tempat khusus parkir motor, ia bersama ibunya segera melangkah memasuki sebuah bangunan besar ber-cat hijau daun.

Sejenak kakinya berhenti tepat di depan pintu gerbang di bawah papan sekolah yang berdiri gagah yang juga berwarna hijau.

"SMA PANCADHARMA" begitulah tulisan yang mengisi papan besar tersebut.

Tanpa sadar bibirnya mengulas senyum tipis. Merasa bahwa waktu berlalu begitu cepat. Padahal rasa-rasanya baru kemarin ia dimarahi kakak panitia MOS gara-gara terlambat masuk dan disuruh goyang patah-patahnya Anisa Bahar sebagai hukuman hingga membuatnya ingin meng-uninstall wajah saking malunya.

Namun ternyata tahu-tahu dua minggu lagi ia akan menduduki bangku kelas sebelas. Sekarang berjalannya waktu memang bagaikan satu kedipan mata.

"Neska! Ayo masuk. Kamu ngapain bengong di situ?" Esti berteriak karena melihat anak perempuannya seakan mendadak jadi orang gila yang senyum-senyum sendiri di depan gerbang sana.

Gadis yang dipanggil Neska itu tersadar, lalu melihat ke arah sumber suara. Di depan sana, ibunya sudah berkacak pinggang.

Ia meringis, dan segera berlari kecil menyusul Esti. Dirinya merasa kesal juga malu. Kesal karena sedang mengenang kejadian indah setelah hukuman sialan itu rusak begitu saja karena teriakan maut Ibunya. Malu karena kini ia menjadi pusat perhatian.

Kalau ia cantik sih tidak masalah mau selalu jadi pusat perhatian. Tapi masalahnya wajahnya ini jelek dengan jerawat yang menempel di mana-mana. Belum lagi kulitnya yang hitam dan kusam.

Namun walau begitu, ia tetap berusaha mencintai dirinya sendiri.

"Kamu ngapain, sih, bukannya buruan masuk malah bengong di sana? Mikirin apa? Punya beban juga nggak." Esti mengomel di sela-sela kaki mereka melangkah menuju kelas Neska—atau lebih tepatnya Aneska.

Aneska nyengir kuda, meski merasa makin kesal karena ucapan Esti yang sedikit menusuk. "Maaf, Bu. Tadi tiba-tiba Neska inget masih punya utang dua ribu di warung Mbak Lilis."

Esti geleng-geleng tiga kali. "Makanya, jadi orang itu jangan hobi ngutang. Udah ayo buruan." Wanita itu lantas menggandeng tangan Aneska agar berjalan lebih cepat.

Sementara yang digandeng hanya bisa pasrah saja atau ia akan kena omelan dengan durasi lebih panjang lagi.

Suasana tampak ramai, dengan semua murid yang melangkah beriringan bersama orang tua mereka. Ada yang baru datang seperti dirinya, ada juga yang hendak pulang.

Dia melirik jam yang melingkar di tangan yang digandeng Esti. Sudah pukul setengah sepuluh pagi. Pantas saja ada yang sudah pulang.

Salahkan saja semua ini padanya karena bangun jam sembilan tadi. Padahal di undangan yang diberikan Bu Vita kemarin harusnya dia dan Ibunya datang jam delapan pagi.

Unexpected Ending Where stories live. Discover now