33 [End]

75 15 9
                                    

Rintik hujan tiba-tiba mengguyur bumi. Mengurungkan diri, Aneska berbalik dan berteduh di halaman supermarket.

Halamannya yang luas, membuat ia bisa terbebas dari hujan yang kini turun dengan lebatnya. Beruntung, Aneska belum sempat membawa motornya untuk pulang. Karena sudah pasti ia akan basah kuyup karena tidak membawa jas hujan.

Aneska berdecak. Padahal tadi kondisi langitnya terang benderang, sama sekali tidak ada tanda-tanda mau hujan. Tapi dengan secara tiba-tiba langit berubah menjadi pekat dan hujan langsung tumpah ruah begitu saja.

Jika diibaratkan, ini persis dengan nasib manusia. Sebelumnya mereka merasa bahwa hidupnya bahagia dan baik-baik saja. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa sebentar lagi mereka akan terhempas ke titik paling bawah.

Entah itu beberapa hari kemudian atau bahkan beberapa detik kemudian. Tahu-tahu semuanya sudah terjadi. Hancur dan berantakan. Senyum dan tawa sukacita berganti dengan isak tangis penuh duka.

Namun, perlu diingat satu hal. Setelah hujan lebat melanda, tanaman yang gersang jadi segar. Suasana yang tadinya panas jadi sejuk.

Begitu pun dengan masalah manusia. Setelah melewati hari-hari dengan kesedihan dengan hati gusar, sebentar lagi mereka akan menjemput kebahagiaan yang menyejukkan hati.

Tinggal bagaimana kita mau sabar menunggu hujan itu reda atau tidak.

Ia tersenyum miris, merasa bahwa sekarang ada dititik tersebut. Tidak ada tanda apa pun, kalau kehidupannya akan hancur berantakan begitu saja.

Tak cukup dengan video dan foto buku harian itu tersebar, semua orang yang mem-bully-nya, juga penghinaan Arza. Kini, masalahnya harus kembali bertambah.

Aneska yang bersiap menyambut hari dengan menata hatinya agar kembali utuh, kembali terhempas. Saat tiba-tiba merasa wajahnya yang perih di sana-sini kala bangun tidur tadi. Dan ternyata, jerawat itu ... semuanya kembali. Besar-besar dan bernanah. Efek dari skincare abal yang selalu ia pakai, rupanya mulai bereaksi.

Langsung bermunculan begitu saja, membuat kondisi wajahnya persis seperti dulu. Ia sangat panik dan takut, tentu saja. Hatinya yang belum sembuh betul atas putusnya hubungannya dengan Arza dan penghinaan cowok itu, harus terpaksa kembali rapuh karena dihadapkan kenyataan pahit ini.

Ia ... kembali jelek. Bahkan lebih jelek dari yang dulu.

Andai saja ia tak buta cinta, andai saja ia percaya, dan andai saja ia tak punya obsesi sialan ini. Andai, andai, dan andai.

Semua kata pengandaian itu terus berputar-putar, menjadi boomerang untuknya.

Sangat merasa panik, Aneska langsung kabur dari rumah karena takut Esti akan marah. Tidak, ia tidak pergi jauh. Hanya berputar-putar tak tentu arah-berhubung ini hari minggu-lalu berhenti di supermarket guna membeli minuman tapi malah terjebak hujan.

Dan di sinilah ia sekarang, menatap tetesan hujang dengan pandangan kosong sembari menunggu hujan reda.

Angin yang berhembus membuat Aneska menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Berusaha menciptakan hangat meski hanya sesaat. Sebab hari ini ia hanya menggunakan kaos lengan pendek sehingga rasa dingin itu rasa-rasanya menusuk sampai ke tulang.

Hingga kemudian, kehadiran sebuah motor yang dikenalnya membuat Aneska mengerenyit. Untuk apa Divka ke sini?

"Astaga, Aneska. Akhirnya gue ketemu lo juga." Divka terlebih dahulu menghela napas lega sebelum kemudian melepas helm disusul melepas jas hujan.

Aneska meliriknya sekilas, lalu kembali menunduk.

"Lo ngapain ke sini?" tanyanya.

"Lah, harusnya gue yang nanya itu." Divka berdecak. "Pergi dari rumah gitu aja, nggak bawa hp, nggak izin. Lo berniat mau kabur dari rumah? Nyokap lo khawatir sama lo. Dia sampe telepon gue buat bantu nyari lo," imbuhnya setengah berceramah.

Unexpected Ending Donde viven las historias. Descúbrelo ahora