31

43 11 11
                                    

"Dih, dasar miskin!"

"Bener tuh. Udah miskin, murahan lagi."

"Kalo gue sih ya mendingan jadi jelek dari pada jadi kayak dia."

"Hahaha bener banget. Daripada dia, cantik tapi ternyata palsu. Mana murah lagi astaga."

"Hooh. Nih ya, yang ada cowok-cowok ilfeel sama dia."

"Bener tuh. Contohnya Arza, dia langsung ilfeel, kan."

"Jiah, gue cewek aja ilfeel. Ogah gue deket-deket."

"Makanya, jadi orang tuh jangan murahan pake ngejar-ngejar cowok. Sampe bela-belain pake skincare abal."

Semua makian dan hinaan itu terus terlontar, berebutan menusuk hatinya. Dia terduduk tak berdaya di tengah-tengah orang-orang biadab yang kini berdiri mengelilinginya. Semuanya tertawa lepas dengan wajah puas, seolah-seolah ia adalah manusia hina sehingga pantas diperlakukan seperti ini.

Rasanya ingin sekali menutup telinga serapat mungkin agar tak mendengar apa pun. Sayang, semua suara sumbang yang sangat nyaring itu memaksa telinganya untuk terus mendengar makian demi makian yang mereka ucapkan.

Bahunya bergetar kencang menahan tangis yang serasa ingin meledak. Semua perlakuan itu membuatnya tumbang. Lagipula, siapa yang akan kuat di bully ramai-ramai seperti ini?

Dalam tangisnya, ia tak henti-hentinya bertanya-tanya. Mengapa semua orang menggunjingnya? Memang salah kalau dia ingin meraih kebahagiaannya sendiri sebelum masa putih abu-abu ini berakhir? Meskipun ia juga sangat menyadari kalau caranya salah, ia rasa orang-orang biadab itu tak berhak melakukan ini padanya.

Dan dari tadi pun mereka semua sudah mendengar, kalau di sini yang bejat adalah Arza. Tapi mengapa mereka semua malah mem-bully nya? Tuli kah pendengaran mereka?

Andai saja ia punya kekuatan dan keberanian, sudah dari tadi ia balas satu persatu mulut-mulut sialan itu lalu pergi dari kerumunan orang-orang biadab ini. Tapi boro-boro melawan dan pergi, untuk menutup telinga saja dia tak mampu. Dan bagai seorang yang kalah dan mengaku salah, ia duduk diam. Membiarkan semua orang mengeroyok dirinya.

Dan saat semuanya terasa mati rasa dan hampir kehilangan kesadaran, tiba-tiba kerumunan itu terbelah dan muncullah seseorang yang kehadirannya bak pahlawan.

Semuanya mendadak bungkam. Sorak sorai yang bising itu seketika lenyap bagai disapu angin.

Tak mempedulikan semua pasang mata yang menyorotinya, orang itu mengulurkan tangannya. "Ayo pergi. Lo nggak pantes ada di tempat ini dan diperlakuin dengan kurang ajar kayak gini."

Dia tertegun, orang ini ... yang sudah ia sakiti hatinya berkali-kali tapi masih sudi menolongnya? Ya Tuhan, Aneska merasa sangat bersalah sekali.

"L-lo, kenapa di sini?" tanyanya dengan suara tercekat.

Orang itu, Divka, tak menjawab pertanyaan Aneska. Tatapannya menyorot dingin. "Ayo pergi dari sini," ajaknya lagi.

Aneska terpaku, tak mengiakan juga tak menolak. Kedatangan Divka yang secara mendadak membuatnya terkejut bukan main.

"Ayo, Aneska."

"Dia nggak mau, Bro. Ya udah sih nggak usah dipaksa." Arza berucap dengan santainya.

Divka berdecih, dan langsung berjalan mendekati Arza yang masih berdiri tak jauh dari tempat Aneska. Sesampainya di depan Arza, Divka bertepuk tangan keras.

"Jadi gini kelakuan sikap ketua futsal SMA Pancadharma yang dibanggain guru-guru?" Divka lantas meludah ke tanah. "Nyatanya lo cuma cowok brengsek yang bisanya mandang fisik. Arza, Arza, malu sama jabatan lo."

Unexpected Ending Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang