10

88 19 20
                                    

Suasana UKS sangat sepi ketika Aneska dan Arza tiba. Dengan pelan cowok itu meletakkan tubuh Aneska di salah satu kasur. Keduanya sontak menghela napas lega.

Aneska lega karena akhirnya bisa lepas dari dekapan Arza yang membuatnya sesak napas, dan Arza lega karena tangannya tak lagi merasakan keberatan.

"Makasih banget ya, udah bawa gue ke sini. Dan maaf juga kalo jadi ngerepotin dan bikin kacau latihan lo," lirih Aneska menampakkan wajah merasa bersalah.

Arza tersenyum di sela-sela kegiatannya yang sedang meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku dan pegal akibat menggendong gadis itu.

"Nggak masalah, itu kan kesalahan anggota gue. Jadi sebagai ketua udah kewajiban gue buat tanggung jawab."

Aneska hanya manggut-manggut, lalu memilih diam karena gugup. Berbeda dengan Arza yang tampak santai. Kemudian cowok itu duduk di kursi samping kasur tempat Aneska berbaring.

"Oh iya, kita belom kenalan. Gue Arza, kapten futsal SMA Pancadharma, kelas XI IPA 1." Sambil mengulurkan tangan, Arza menatap Aneska dengan memasang senyum yang menawan.

Aneska terpaku sejenak. Arza mengajaknya berkenalan? Ia sudah menyangka ini, bahwa cowok itu tak mengenalinya. Maka kemudian dengan santai—lebih tepatnya mencoba santai—ia membalas uluran tangan itu.

"Gue Aneska, kelas XI IPA 4. Btw, gue udah tau nama lo Arza. Kita juga udah pernah ketemu sebelumnya," ucapnya memilih berani. Kalau ia terus saja malu, bagaimana bisa mendekati Arza nantinya?

Arza tampak terkejut, terbukti dengan matanya yang sedikit melotot. "Kita pernah ketemu? Kapan? Kok gue nggak tau, ya?"

Belum juga Aneska menjawab, orang yang sama sekali tak ingin ia temui muncul sembari membawa segelas teh hangat dan sebungkus roti.

"Nih, teh sama roti yang lo minta," ucap Divka pada Arza lalu meletakkan barang bawaannya di meja kecil yang tak jauh dari kasur tempat Aneska berbaring.

Aneska berdecak dalam hati. Kenapa cowok kampret itu harus ke sini, sih? Mengganggu waktu spesialnya dengan Arza saja.

Arza langsung bangkit dan menepuk bahu Divka. "Bagus. Eh iya, lo gantian yang nemenin Aneska, ya. Gue musti cabut nih, mau ketemu Pak Deni buat bahas pertandingan futsal yang bakal diadain nggak lama lagi," pintanya setengah memohon.

Aneska kembali berdecak dalam hati. Duh, kenapa jadi begini, sih? Kan ia belum puas mengobrol dengan Arza dan ia tidak mau ditemani Divka!

Divka pun tampak enggan lalu mencoba menolak. "Hah? Kok gitu? T-tapi gue–"

"Nggak ada tapi-tapian, Divka. Lagian ini semua, kan, gara-gara lo. Jadi ya lo harus tanggung jawab dong," potong Arza tegas.

"Iya, sih." Divka mengangguk pasrah.

"Nah, kan! Udah, pokoknya lo yang temenin Aneska. Kasian dia lagi sakit masa ditinggal sendirian. Masalah izin nggak masuk kelas, lo nggak usah khawatir. Itu semua biar gue yang urus," ucap Divka tak mau dibantah membuat lagi-lagi Divka hanya bisa mengangguk pasrah.

Pandangannya lalu beralih pada Aneska. "Eum, Nes, gue tinggal dulu, ya. Tenang aja, ditemenin sama Divka kok. Lo nggak papa, kan?"

"Nggak papa. Malah harusnya nggak usah ditemenin segala, gue nggak papa sendiri, kok," balas Aneska menampilkan wajah baik-baik saja meski hatinya kesal luar biasa.

Unexpected Ending Where stories live. Discover now