XXII

1.5K 246 32
                                    

Sepuluh jam lebih, ruang obrolan itu senyap. Hanya berakhir pada pesan singkat yang belum juga dibaca, apalagi dibalas. Melepas nafas berat, gadis itu kembali mematikan layar ponsel untuk kesekian kalinya dan beralih pada tumpukan tugas yang memaksa diselesaikan segera. Meski hawa dingin menyeruak karena hujan yang belum juga berhenti sejak siang tadi, ia tetap memaksa dirinya untuk kembali berkutat pada tumpukan buku di meja belajarnya.

Gadis itu, Runa, masih berharap Haechan segera membalas pesannya. Bukan sebuah pesan yang penting memang, tetapi ia begitu menunggu balasannya. Ah, padahal sebulan pun belum genap sejak terakhir mereka bertemu. Namun rasanya Runa ingin tetap berlama-lama dengan lelaki itu, mendengar suaranya dan mengetahui bahwa ia baik-baik saja.

Arruna menggeleng pelan, menepis perasaan sebalnya sendiri. Mencoba paham bahwa pekerjaan Haechan membuat mereka tak dapat sering bertemu atau sekadar terhubung dalam panggilan telepon. Gadis itu merutuki dirinya sendiri dalam hati. Bukankah biasanya ia terbiasa dengan kesibukan Haechan? Mengapa sekarang ia jadi uring-uringan ketika Haechan tidak juga mengiriminya pesan? Mengapa ketika hubungan mereka yang kini sudah menginjak hampir setengah tahun, bukannya maklum, Runa justru jadi mudah merasa kesal karena Haechan yang sering tak jelas kabarnya seperti saat ini?

Berusaha memperbaiki suasana hatinya yang sedikit mendung, Runa kembali melanjutkan mengerjakan tugas melalui laptop di hadapannya. Bukannya fokus, isi kepala gadis itu malah semakin berisik. Berisik dengan berbagai hal. Mulai dari tugas kuliah yang masih saja menumpuk meski sudah dikerjakan setiap hari, jadwal KKN yang akan dimulai bulan depan, nasib pekerjaan paruh waktunya di cafè, dan lagi-lagi, tentang Haechan.

"Fokus, Run. Fokus dulu sama tugasnya," monolognya.

Lantas sebuah ketukan yang cukup kencang dari pintu utama terdengar dua kali, tepat ketika gadis itu menuntaskan membaca halaman ke lima puluh dua novelnya. Ketukan itu terdengar samar, beradu dengan suara hujan. Dengan segera, Runa bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Dari ekor matanya, gadis itu melirik kamar sang ayah dan mendapati lelaki itu tengah terlelap, sama sekali tak terlihat terganggu dengan suara-suara di sekitarnya.

"Siapa, sih, bertamu pas hujan-hujan begini."

Gadis itu menggerutu pelan sebelum membuka pintu di hadapannya. Lantas air wajahnya berubah kontras sekali dengan detik sebelumnya ketika dilihatnya siapa gerangan yang bertamu.

"Mas Haechan?"

Runa susah payah menahan senyumannya, melihat Haechan yang kini berdiri di hadapannya dengan mantel hujan yang menutupi seluruh tubuhnya. Wajah lelaki itu terlihat menggemaskan karena tudung mantel yang terikat rapat. Tak lupa dengan permukaan kulit wajahnya yang basah karena air hujan.

"Ada apa hujan-hujan ke sini?"

"Kangen."

Satu kata.

Hanya satu kata yang Haechan ucapkan namun berhasil membuat Runa seketika salah tingkah. "Apa, sih?"

"Aku kangen tauuu, emang kamu nggak kangen apa?" Haechan memanyunkan bibirnya, membuat gadisnya melupakan fakta bahwa Haechan adalah lelaki berusia dua puluh enam tahun karena ia terlalu menggemaskan.

Runa terkekeh, berusaha tak mengacuhkan debaran jantungnya yang mulai kacau.

"Kangen kok. Ya udah, itu mantelnya copot dulu gih, Mas. Runa ke belakang dulu sebentar, mau ambil gantungan."

Usai kalimat itu mengudara, Runa buru-buru meluncur ke bagian belakang rumahnya. Gadis itu tak ingin membiarkan Haechan melihat rona merah di pipinya.

-

"Run, lagi apa, sih, di belakang?"

Suara Haechan terdengar dari ruang depan ketika Runa tengah asyik mengaduk segelas teh hangat di dapur.

Alur - [Haechan]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz