XIII

3K 432 122
                                    







Malam itu terasa sangat buruk.

Dengan keberanian tipis yang masih tersisa, juga setelah kebimbangan panjangnya, Haechan memutuskan untuk menyampaikan hal yang paling tidak ingin disampaikannya kepada gadis itu.

Malam itu, tidak ada tangis yang menderu. Bahkan setetes air mata juga tidak. Dua insan di sudut ruangan itu hanya bungkam setelah rentetan kalimat-kalimat pahit beberapa saat lalu mengudara.

Seakan mengejek, awan mendung yang bergumpal-gumpal malam itu tidak juga menurunkan hujan. Padahal desir angin terasa lebih kencang malam itu.

Menambah kalut.

Lantas yang sama-sama mereka tahu ketika itu hanya; semua terasa sangat sakit, menyesakkan rongga dada.

Tidak tahan dengan kebungkaman di antara keduanya, Haechan berdeham singkat. Hanya sekadar memecah sunyi dan canggung yang tiba-tiba menyelimuti mereka.

"Maaf."

Itu Haechan.

Suaranya lirih, tapi masih terdengar oleh Runa. Terlihat dari gerakan kepala gadis itu yang menoleh sedikit ke arah Haechan.

"Kenapa?"

Kenapa?

Bahkan gadis itu tidak tahu kenapa ia harus bertanya demikian.

"Maaf saya harus menyampaikan hal buruk seperti ini."

"Hal buruk?"

Pertanyaan itu membeku di udara.

Haechan mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan retorik dari Runa barusan. Di telinganya, pertanyaan itu tidak lebih dari sekadar pernyataan, 'hal itu tidak buruk, hanya kamu yang merasa buruk. Aku tidak.'. Apakah ini tandanya Haechan harus benar-benar berhenti?

"Mas."

Haechan mengangkat pandangannya kembali setelah lama menunduk, termenung dengan pikirannya sendiri. Maniknya bergulir menatap Runa.

"Gimana kalo ini emang yang terbaik buat kita? Mungkin, Runa bukan jodohnya Mas Haechan."

Rupanya, gadis itu juga menyimpan pertanyaan yang sama. Kekhawatiran itu, tak dapat dimungkiri singgah dalam benak Haechan juga.

"Kamu setuju mau batalin perjodohan kita?"

Runa terdiam lama, lantas menggeleng pelan.

"Runa udah janji sama diri Runa buat bertahan. Apapun yang terjadi. Mas juga inget 'kan Runa pernah sampein ini ke Mas?"

Haechan mengangguk.

Ada secuil kelegaan, mengetahui ia tak benar-benar akan berjuang sendiri.

Haechan bungkam cukup lama, berusaha mengendalikan banyak hal yang ia pikirkan saat ini. Lantas, ia menyusun kalimat-kalimat yang paling mungkin, yang bisa mewakili sedikit dari isi pikirannya kepada gadis itu.

"Saya emang nggak tau pada akhirnya kita berjodoh atau nggak," Haechan dengan lembut menarik tangan kanan gadis itu yang telunjuknya kini sedang digigiti. Lantas telapak tangan Haechan menggenggam tangan mungil Runa yang terasa dingin.

"Tapi saya juga mau berusaha buat mempertahankan apa yang bisa saya pertahankan. Kalaupun akhirnya kita memang nggak berjodoh, seenggaknya kita udah coba buat mengupayakan apa bisa kita lakukan. Sebaliknya, gimana kalau ternyata kita emang berjodoh? Saya nggak mau nyesel dengan nerima mentah-mentah permintaan Bunda, karena di sisi lain saya beneran nggak mau kehilangan kamu sekarang."

"Saya mau ikutin kata hati saya buat pertahanin perjodohan ini," lanjutnya.

"Mas, tapi ini Bunda. Yang mau perjodohan kita dibatalin itu Bunda."

Alur - [Haechan]Onde histórias criam vida. Descubra agora