XVIII

2.2K 380 72
                                    

Langkah seorang perempuan paruh baya begitu tergesa menyusuri lorong rumah sakit. Terlalu pagi, bangunan bercat putih itu nampak masih sepi oleh orang-orang yang berlalu lalang. Kumandang subuh baru setengah jam lalu terdengar, langit pun masih gelap, juga embun-embun yang masih menggantung di balik rerumputan. Pagi itu sepi, namun terasa riuh, bergemuruh; seiring dengan keterkejutan Ibunda Haechan yang mendapat kabar buruk tentang bungsunya yang disampaikan oleh rekan kerjanya.

Perempuan itu menghentikan langkahnya, menatap sejenak pintu yang berada hampir di ujung lorong lantai tiga bangunan itu dengan sepasang matanya yang basah sebelum masuk dengan perlahan ke dalam ruangan tersebut.

"Haechan... Kamu... kenapa bisa kayak gini, Chan?"

Lelaki bermanik almond itu menoleh dengan tatapan terkejut. "Loh? Bunda? Mm, Bunda tau dari mana Echan di sini?"

Lantas manik itu bergulir ke arah lain, menemukan Jungwoo yang masuk ke ruangan itu kemudian.

Kedua pipi Bunda yang masih basah kini kembali ditumpahi air mata. "Tadi temen kamu, Jaemin, telepon Bunda. Kenapa kamu nggak kabarin Bunda, sih? Kamu kenapa bisa kayak gini, Chan? Mana aja yang sakit?"

Haechan terkekeh, "Bun, satu-satu nanyanya."

Bunda mengangguk begitu pelan, menarik bangku di samping brankar untuk didudukinya. Tangan kirinya lantas terulur ke arah kepala bungsunya itu, mengelusnya perlahan dengan sayang.

"Tadi malem Haechan nolongin.. em, perempuan yang hampir dijahatin sama preman, Bun." Satu kalimat pembuka dari Haechan semakin menarik fokus sang Bunda untuk mendengarkan ceritanya. Lantas kalimat-kalimat selanjutnya membuat aliran tangis Bunda semakin deras.

"Tapi Bunda jangan khawatir, ya. Lukanya nggak begitu dalem kok, mudah-mudahan Haechan bisa cepet pulih."

Usai kalimat itu mengudara, pintu ruangan kembali terbuka dan berhasil menarik atensi penghuni ruangan untuk melempar pandangan ke arah pintu. Haechan menahan nafasnya, menyadari satu hal yang ia lupakan.

"Kamu..." Ucapan Bunda terjeda, matanya lurus menatap sepasang anak-ayah yang masih tergugu di depan ruangan.

Netra sang Bunda masih belum bergulir ke arah lain hingga beberapa hitungan waktu kemudian. Ia masih menelanjangi gadis di depan ruangan itu dengan tatapan yang begitu membuat tak nyaman siapapun yang menyadarinya. Dahi perempuan itu mengerut ketika pandangannya jatuh pada luka basah di siku gadis itu. Tak salah lagi, duganya dalam hati. Tanpa menyelesaikan ucapan itu, Bunda beralih menatap Haechan. "Chan, perempuan yang kamu tolong semalem, itu.. Runa?"

Hening. Haechan tidak langsung menjawab pertanyaan Bunda, hatinya berisik menerka reaksi apa yang akan sang Bunda keluarkan atas jawabannya nanti. Berbohong pun tampaknya tidak akan ada gunanya. Ragu, lelaki itu mengangguk begitu pelan. Sangat pelan, sampai terlihat seperti tidak bergerak sama sekali.

Tepat seperti yang diduga Haechan, mata Bunda kembali memerah. Haechan memejamkan matanya, merutuki kecerobohannya pagi ini.

'Kenapa tadi lupa ngechat Runa dulu kalau Bunda di sini, sih?'

"Dulu, Ayah kamu jadi penyebab Ayah Haechan meninggal. Apa sekarang kamu mau melakukan hal yang sama.. ke Haechan, Runa?" Bunda berucap pelan, namun begitu menekankan tiap kata yang diucapkannya.

Afandi yang terjebak dalam situasi yang tidak dipahaminya hanya mampu menatap sang putri tanpa bersuara, menuntut penjelasan.

"Bun, nggak.. Nggak gitu..." Haechan meringis begitu ia merasakan perih di punggungnya karena berusaha bangkit dari brankarnya. Lelaki itu memejamkan matanya, menyesali keadaannya yang tak bisa berbuat apa-apa saat ini. Maniknya menatap gadis yang masih bergeming.

Alur - [Haechan]Where stories live. Discover now