XIX

2K 346 60
                                    


Terkadang dalam hidup, ada pilihan yang terlihat sederhana namun begitu sulit untuk diputuskan. Seperti, kejujuran yang menyakitkan atau kebohongan yang manis? Berdamai dengan pahitnya kenyataan atau bertahan untuk tenggelam bersama ilusi?



-

Aroma khas gudang memaksa memasuki rongga penciuman ketika langkah kaki orang-orang itu telah sampai di dalam. Tidak ada yang istimewa, hanya tumpukan barang yang sedikit berserak dan berselimut debu. Lantas seorang lelaki maju. Dibantu oleh pria berseragam khas, mereka mulai membongkar beberapa kotak dus untuk menemukan sesuatu yang dicari.

Degup jantung tanpa bisa dimungkiri begitu kencang berderap antara orang-orang itu. Segala kemungkinan, yang mungkin bahkan terasa tak mungkin untuk dipikirkan, mulai melintas dan memenuhi benak mereka begitu saja.

"Ketemu." Singkat salah satu lelaki, menatap sebuah dus berukuran agak besar, menariknya mendekat lantas membukanya. Ia berjongkok di depan dus, mengeluarkan beberapa dokumen yang kertasnya hampir menguning di beberapa sisi.

"Silakan," lelaki itu menyodorkan  dengan sopan sebuah amplop putih kepada perempuan yang bersamanya kini.

Pandangan sepasang manik yang terlihat berkaca milik perempuan itu termangu tanpa kedip. Dibukanya amplop berisi lembaran kertas itu, lantas dibacanya lamat-lamat. Beberapa hitungan detik kemudian, air matanya luruh, membanjiri kedua belah pipinya. Tangannya yang bergetar, lemas tak bertenaga. Lembaran kertas yang semula ia genggam, jatuh menyentuh lantai dingin ruangan tempatnya berada kini.

"Saya tidak berbohong."

Perempuan itu mengangguk pelan, tak berani menatap lawan bicaranya. Ia justru terduduk di bangku yang tak jauh darinya, meresapi isakan tangisnya sendiri.

"Bun, nggak apa-apa."

Seorang gadis menghampirinya. Membiarkan tubuhnya didekap sang gadis.

Ya, semua yang dikatakan Afandi bukanlah kebohongan. Sebuah kenyataan yang berhasil menghantam keras hati Bunda yang selama ini salah sangka. Beragam perasaan memenuhi benaknya. Berisik, sangat berisik. Membuatnya sama sekali tak nyaman.

Pada kertas yang tergeletak di lantai itu, tercetak jelas nama PrasetyoㅡAyah Haechan. Juga dengan rangkaian kalimat yang wajar tertulis dalam sebuah lembar resmi kenaikan jabatan. Semua yang perempuan itu pikirkan selama bertahun-tahun nyatanya adalah sebuah kekeliruan. Rasa sakit yang ia pendam, tertuju pada orang yang tidak bersalah.

Perempuan paruh baya itu secara sadar mengerti, kesalahpahaman ini justru menyakiti banyak orang. Termasuk bungsunya, juga gadis yang ia cintai.

Kini entah bagaimana ia harus bersikap. Terbayang air wajah si bungsu yang akhir-akhir ini muram akibat dirinya. Juga gadis di sampingnya yang masih mendekapnya tanpa bicara.

Bunda melepas pelan dekapan Runa. Tangan perempuan itu lantas membongkar isi dus itu, mengambil apapun yang ada di dalam sana.

Milik Prasetyo

Tulisan itu tercetak jelas di sebuah sampul tebal buku yang kini perempuan itu genggam. Menggerakkan lengannya ke arah wajah, Bunda mengusap air matanya sebelum membuka buku tersebut.

Buku harian suaminya rupanya. Sudut bibir Bunda terangkat, tersenyum mengamati tulisan lelaki yang telah menemaninya selama hampir tiga puluh dua tahun itu.

"Buku ini... apa boleh saya bawa pulang?"

-

Menikmati alunan musik kesukaannya, Haechan ikut bersenandung kecil. Tak banyak yang ia bisa lakukan karena luka di punggungnya. Terlebih ketika ia ke luar kamar tadi, tak ditemukannya sang Bunda yang biasa membantunya selama ia tak bisa beraktivitas sebagaimana biasa. Mencoba tak khawatir, lelaki itu berpikir Bunda sedang ada acara arisan atau pengajian seperti pekan-pekan biasanya.

Alur - [Haechan]Место, где живут истории. Откройте их для себя