XII

3K 461 40
                                    

Haechan menyibak tirai yang menutupi jendela, mengizinkan cahaya matahari pagi menyelimuti seisi ruangan. Embun dari hujan yang turun sepanjang malam tadi masih tertinggal di ujung-ujung dahan pepohohan dan rerumputan pendek yang tumbuh di halaman rumah sakit.

Iris almond laki-laki itu lantas jatuh pada gadis yang tengah terlelap di sofa pada salah satu sisi ruangan ICU itu. Tubuh mungil gadis itu terlihat meringkuk kecil, menyesuaikan dengan ukuran sofa. Kaki jenjang Haechan lantas berjalan ke sana untuk kemudian berjongkok di depan gadis itu. Kedua sudut bibirnya terangkat tipis seiring dengan jemarinya yang menyisipkan rambut hitam legam yang menutupi sebagian wajah gadis itu ke belakang telinga.

"Runa, ayo bangun."

Gadis itu merespon ucapan Haechan, terlihat dari kelopak matanya yang mulai membuka.

"Astaga," Runa bergumam pelan sebelum menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. "Runa kaget ih, Mas. Kenapa deket banget, sih?"

Haechan mengangkat alisnya sekilas lantas terkekeh, menyadari bahwa wajahnya kini memang sangat dekat dengan wajah sang gadis. Lebih terkekeh lagi, ketika Haechan melihat Runa yang mengintip dari sela-sela jemarinya.

"Hayo, mikirnya ke mana-mana, ya?" Haechan yang masih terkekeh lantas membawa dirinya duduk di sofa yang lain.

"Eng-enggak. Runa cuma kaget," gadis itu mendengus pelan sebelum beranjak berdiri.

"Mau ke mana?"

"Toilet. Mau cuci muka ah, malu muka bantal Runa diliat Mas."

Haechan tertawa pelan melihat Runa yang berjalan cepat memasuki toilet di ruangan itu. Namun, tawa itu lantas berganti menjadi tarikan nafas berat tatkala pandangannya jatuh pada brankar yang berada tak jauh di depannya.

Afandi masih belum juga sadar pasca operasi.

"Apapun, ya, Run. Apapun keadaannya, ayo kita perjuangin bareng," Haechan tersenyum, senyum yang justru terlihat menyedihkan.

Suara decitan pintu kembali mengalihkan atensi Haechan, menampilkan gadisnya yang sudah terlihat lebih segar setelah membasuh wajah, menyisakan tetesan air di ujung-ujung rambutnya.

"Mas Haechan udah dateng dari tadi?" Tanya Runa setelah mendudukkan diri di sofa, duduk tepat di samping Haechan.

"Baru kok."

"Mas, Ayah kok belum sadar juga, ya?" Runa melempar pandangannya pada brankar sebelum kembali menatap Haechan.

"Tadi udah saya periksa. Nggak apa-apa kok, itu cuma karena masih ada sedikit efek obat biusnya aja."

Runa mengangguk-angguk mengerti, "oh, iya, Mas."

"Apa?"

"Bunda marah, ya, sama Runa?"

"Hm? Siapa yang bilang?"

"Nggak ada, perasaan Runa aja yang bilang gitu. Soalnya semalem Bunda keliatan beda."

Haechan tersenyum, "enggak kok, Bunda cuma lagi nggak enak badan aja kemarin."

"Oh, gitu. Runa kira, Bunda marah. Terus juga Mas Haechan tiba-tiba aneh nanya yang di parkiran itu."

"Nggak kok, nggak ada hal buruk yang kayak kamu kira itu."

"Beneran?"

"Iya."

"Janji, ya, Mas, kalau ada apa-apa bilang sama Runa. Jangan dirahasiain, ya?"

"Iya, Runa."

"Janji?" Runa mengacungkan kelingking kanannya ke arah Haechan.

Alur - [Haechan]Where stories live. Discover now