XV

2.5K 423 55
                                    




Angin berembus menerbangkan tirai yang menutupi jendela kamar. Lembut, instrumen biola mengalun dari ponsel yang tergeletak di dekat gadis penghuni kamar itu. Di atas ranjang, Arruna tekun memandangi layar laptopnya. Sesekali jemari gadis itu menari di atas kibor. Netranya yang legam tampak fokus dengan sesuatu yang tengah dikerjakannya.

"Run, ayo makan."

Runa menoleh, mendapati sang Ayah sudah berdiri di depan pintu kamarnya yang setengah terbuka.

"Iya, Yah."

Dua pekan sudah Runa dan Afandi tinggal di rumah yang mereka tempati sekarang. Tak ingin terlalu banyak merepotkan Johnny, akhirnya Ayah dan putrinya itu sepakat untuk mengontrak rumah. Keputusan itu sempat ditentang oleh Johnny karena ia tak merasa direpotkan. Namun bukan Runa namanya jika tidak teguh pendirian. Gadis itu tetap membujuk sang paman hingga mengizinkan kemauannya itu. Meski dengan catatan, segala keperluan perkuliahan Runa masih ditanggung Johnny.

Gadis itu beranjak dari posisinya kemudian berjalan menuju ruang makan. Lantas ia menyendokkan nasi dan lauk yang sudah dimasaknya sore tadi ke dua buah piring di atas meja.

"Run, Ayah boleh nanya?" Tanya Afandi setelah menelan suapan pertamanya.

"Boleh, Yah. Emang mau nanya apa?"

"Mas Haechan itu udah nggak di rumah sakit yang kemarin lagi, Run?"

Membeku. Tangan Runa yang hendak menyuapkan makanan ke mulut, berhenti begitu saja di udara untuk beberapa saat. Lantas gadis itu batal menyuap, tatapannya ia palingkan ke sudut meja.

Haechan.

Nama yang selama ini susah payah ia tahan untuk tak diingatnya. Nama yang baru saja kembali terlintas di rongga telinganya. Nama yang masih berhasil membuat debaran jantungnya berpacu tak normal, meski sekarang ada pilu yang juga menyertai.

Ada rasa tak enak di sudut hati Arruna. Mengingat gadis itu masih belum berterus terang pada Afandi tentang apa yang terjadi dengan hubungannya dan Haechan kini.

"Ng-nggak tau, Yah."

"Kok kemarin pas Ayah kontrol nggak ketemu, ya?"

"Mm, mungkin Mas Haechan lagi sibuk sama pasiennya yang lain."

"Iya kali, ya."

Runa mengangguk kecil kemudian tersenyum hambar. Hati kecil gadis itu berharap sang Ayah tidak lagi menanyakan tentang Haechan.

"Tapi kamu masih suka kontakan sama dia 'kan?"

Runa kembali tertegun, "jarang."

"Jangan-jangan kamu belum kasih tau, ya, kita pindah ke sini?"

"Belum, Yah, hehe."

'Dan sepertinya nggak akan,' lanjut batin Runa.

"Dikabarin dong, Nak."

Runa mengangguk kecil, "nanti-nanti aja, Yah. Kayaknya Mas Haechan lagi sibuk."

"Ya udah, jangan lupa, ya. Ajak ke sini kalau bisa, Ayah pengen ngobrol-ngobrol lagi."

Tanpa mengiyakan, tanpa menolak, Runa hanya tersenyum kecil menyahuti sang Ayah.

-

Suasana sore menjelang malam di perkotaan selalu sama. Selalu bising dengan deru mesin kendaraan yang mengepulkan asap polusi. Selalu ramai dengan manusia-manusia pekerja yang berwajah penat. Namun, gadis di balik meja café itu dituntut untuk tetap berwajah manis penuh senyuman, sebagai setengah kewajiban pekerjaannya.

Alur - [Haechan]Where stories live. Discover now