III

3.6K 614 58
                                    


Sudah hampir dua jam Runa duduk di salah satu bangku di koridor rumah sakit. Ia beberapa kali melihat Haechan dan rekan kerjanya yang lain sibuk bolak-balik menangani pasien yang kondisinya sangat, err.. memprihatinkan. Seperti saat ini, Haechan tengah berada di atas salah satu brankar yang sedang didorong oleh beberapa perawat menuju ruang Unit Gawat Darurat. Dari kejauhan, Runa dapat melihat Haechan tengah membalut luka pasien di brankar itu yang mengalami pendarahan cukup parah di lengan kirinya. Beberapa menit kemudian, ia melihat brankar lain dengan pasien patah tulang yang terbaring di atasnya.

Pantas saja, di perjalanan menuju rumah sakit tadi, Haechan bertanya pada Runa  apakah gadis itu memiliki fobia atau tidak, dengan darah, suara ambulans, atau sebagainya yang berkaitan dengan hal-hal yang ada di rumah sakit. Runa yang waktu kecil kerap menemani Ibunya yang seorang perawat itu sedikit banyak sudah terbiasa dengan keadaan rumah sakit. Namun, melihat kejadian yang seperti saat ini ia saksikan di depan matanya tetap membuatnya bergidik ngeri.

Dari informasi yang ia dapat dari Haechan, masih ketika perjalanan ke rumah sakit ini tadi, beberapa jam lalu, terjadi sebuah kecelakaan yang cukup parah di sebuah jalan layang yang Runa tahu tak terlalu jauh dari sini. Maka, begitulah kondisi rumah sakit sekarang. Dipenuhi dengan suara berisik dari sirine ambulans yang datang dan pergi untuk beberapa kali dan diwarnai rintihan-rintihan pilu para korban kecelakaan. Juga sirine lain dari mobil Polisi yang Runa pikir, mungkin sedang melakukan interogasi untuk kepentingan penyelidikan sebab kecelakaan?

Runa merapatkan jaket abu milik Haechan yang ia kenakan. Bersamaan dengan itu, ia merasakan sesuatu bergetar dari jaket lainnya yang berada di pangkuannya, jaket yang tadi digunakan Haechan dan dititipkan laki-laki itu padanya sebelum menangani para korban kecelakaan.

Runa merogoh saku jaket itu dan mendapati ponsel Haechan sebagai sumber getaran tadi. Layar ponselnya menyala, menampilkan panggilan masuk dari kontak yang bernama Bunda, dengan emotikon hati di belakangnya. Sedikit ragu, akhirnya Runa menerima panggilan itu.

"Assalaamu'alaikum, Haechan. Nak, halo, kamu ke mana? Kok belum pulang?"

Suara Bunda begitu terdengar cemas.

"Wa'alaikumussalaam, Bunda. Emm, ini Runa, Bun. Mas Haechannya.."

"Runa? Haechan ke mana, Run? Masih sama kamu?"

"I-iya, Bun. Masih. Ngg, anu. Ini lagi di rumah sakit. Abis ada kecelakaan, Bun. Tadi waktu Mas Haechan nganter Runa, Mas dapet telepon dari temennya, disuruh ke rumah sakit buat bantu nanganin karena butuh banyak dokter."

"Sebenernya Runa tadi mau pulang sendiri aja tapi disuruh Mas Haechan ikut ke sini, Bun."

"Oh, gitu. Alhamdulillah, kirain Bunda, Haechan kenapa-kenapa, Run. Bunda khawatir, dia dua jam nggak balik-balik dan nggak ngabarin juga."

"Iya nggak apa-apa, Run, kalau kamu ikut ke sana. Daripada kamu pulang sendiri malem-malem gitu, bahaya."

"Enggak kok, Bun. Mas Haechan baik-baik aja. Hehehe, iya, Bun, tadi juga Mas Haechan bilang begitu, makanya Runa nggak jadi pulang sendiri."

"Iya, sayang. Ya udah, kalau gitu Bunda tutup, ya. Nanti kalau Haechan udah selesai, kasih tau dia buat kabarin Bunda, ya, Run?"

"Iya, Bun, nanti Runa kasih tau ke Mas Haechan."

"Oke, Bunda tutup, ya, sayang. Assalaamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalaam."

Setelah panggilan itu berakhir, Runa sedikit mengembuskan nafas lega. Ia pikir setelah obrolannya dengan Bunda di dapur tadi, sikap Bunda kepadanya akan berubah, tapi sepertinya tidak. Bunda masih bersikap baik dan lembut pada gadis itu seperti sebelumnya.

Alur - [Haechan]Where stories live. Discover now