XXVII

1K 109 19
                                    

Hening, begitulah suasana di ruangan serba putih yang kini menghadirkan sesak bagi Runa. Hanya ada suara lirih dari monitor yang berada di sisi kirinya kini. Pandangan manik legam gadis itu perlahan memburam seiring dengan genangan air mata yang terbendung. Sosok yang terbaring di brankar di hadapannya itu masih memejamkan mata, belum juga sadarkan diri.

"Mas Haechan ...," Panggil Runa, meski tahu lelakinya itu mungkin tak bisa mendengarnya kini.

"Mas katanya mau ke Jakarta. Kok mampir di sini dulu sih?"

Gadis itu menjeda ucapannya karena sesak yang semakin menjadi. Ia menggigit bagian dalam bibirnya, sebisa mungkin tak menangis di hadapan lelaki yang ia sayangi itu.

"Mas Haechan harus kuat, ya. Jangan tidur lama-lama. Katanya semalam masih kangen. Sekarang Runa udah di sini masa dicuekin aja? Runa ngambek nih, ya."

Dipandanginya lagi tubuh Haechan yang terbaring lemah.

Diusapnya lagi perban yang melilit lengan lelaki itu.

Ditatapnya lagi sungguh-sungguh tiap gores dan lebam yang memenuhi wajah tampan lelakinya.

Pada akhirnya, Runa menyerah. Ia memang tak sekuat itu untuk menahan kesedihan yang memenuhi rongga dada. Hingga pada detik berikutnya, sungai kecil mulai tercipta pada dua belah pipi gadis itu. Ia menangis tanpa suara, berharap kekhawatirannya bisa turut mengalir keluar. Hati kecilnya tidak berhenti merapalkan doa untuk keselamatan sang tuan. Lantas lagi-lagi, terngiang suara pihak polisi yang Runa dengar sebelum menemui Haechan di ruangan itu tadi.

Saksi mengatakan kecelakaan ini berawal ketika mobil yang dikendarai korban melintas dan berpapasan dari lawan arah dengan pengemudi sepeda motor yang diduga tengah mabuk. Korban berusaha menghindar dari pesepeda motor yang mulai oleng dengan kecepatan tinggi itu. Sayangnya korban secara refleks membanting setir ke sisi kiri jalan ketika pesepeda motor tadi hampir menubruknya dari depan yang justru membuat mobilnya terperosok ke jurang.

"Kalau aja tadi Mas Haechan nggak berangkat sepagi itu, mungkin ... jadinya nggak akan kayak gini, ya?"

Runa mengusap air mata yang kian deras turun dari mata indahnya. Kini benaknya kembali memutar penjelasan dokter yang menangani Haechan tadi.

Cedera di kepala yang dialami pasien ini bisa dikatakan cukup serius. Setelah melakukan pemeriksaan, ditemukan adanya pendarahan di otak. Hal ini menyebabkan pasien dalam kondisi kritis dan perlu penanganan intensif. Saya harap keluarga pasien dapat senantiasa mendoakan yang terbaik. Kami juga akan berusaha memberikan upaya terbaik kami untuk membantu pasien melalui masa kritisnya.

-

"Lo beneran nggak apa-apa kalau gue balik duluan ke tempat KKN?" Tanya Mario ketika Runa menyuruhnya kembali ke lokasi KKN.

Manik legam Runa melempar pandangan pada pepohonan rindang yang mengitari area parkir rumah sakit itu sebelum membalas ucapan Mario.

"Iya, nggak apa-apa, Yo. Aku izin dulu, ya. Buat hari ini aja aku pengen di sini dulu. Besok aku balik ke sana lagi."

Mario mengangguk, "Ya udah, nanti gue izinin tenang aja. Gue balik nih. Lo hati-hati di sini. Kalau ada apa-apa kabarin aja."

"Makasih, ya. Maaf aku ngerepotin banget minta anterin ke sini tadi. Hm, kamu juga hati-hati, ya."

"Sans," Mario tersenyum sebelum mengenakan helmnya dan menghidupkan mesin sepeda motornya. "Semoga cowok lo cepet pulih, Run."

Runa memberikan senyuman tipis seraya kembali mengucapkan terima kasih. Lantas sepeninggal Mario, Runa kembali mengembuskan napasnya berat. Mencoba memupuk kekuatan lagi dan melenyapkan kekalutan yang bersarang di benaknya kini. Dengan langkah kecil, Runa berjalan kembali ke ruangan ICU tempat Haechan kini dirawat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 16, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Alur - [Haechan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang