XX

1.9K 326 68
                                    

Awan kelabu menghiasi langit ketika langkah Runa tiba di depan cafe tempat ia dan Haechan akan bertemu. Sayangnya, sebuah papan yang menggantung di jendela besar cafe itu membuatnya mengembuskan nafas kasar. Cafe itu tutup.

Gadis bermanik legam itu lantas melirik jam yang melingkar di tangannya. Pukul lima kurang sepuluh menit.

Tak kurang dari dua detik sebelum ia berhasil merogoh saku tasnya untuk meraih ponsel, hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Membuat gadis itu sontak berlarian mencari tempat untuk berteduh. Tentu bukan di teras cafe karena kanopinya yang tak cukup besar itu dipastikan akan membuat air hujan tampias.

Dan kemudian, di sanalah ia. Di sebuah teras toko buku yang dari cafe hanya terhalang deretan ruko tanpa kanopi itulah Runa akhirnya menghentikan langkahnya.

"Mas Haechan udah di mana, ya?" Ujar Runa seraya meraih ponsel yang sayangnya mati, kehabisan daya.

Ia merengut, merutuki dirinya yang lupa mengisi daya ponsel ketika berada di tempat kerja tadi. Lantas raut wajahnya sedikit berubah menjadi khawatir ketika mengingat lelaki yang tadi membuat janji bertemu dengannya itu belum tiba. Manik legam Runa melempar pandangan pada cafe itu, kalau-kalau Haechan tiba. Namun, seiring derasnya hujan yang membuatnya mulai kedinginan, tak kunjung dilihatnya lelaki itu di sana.

"Di sini atau masuk, ya? Tapi kalau aku masuk nanti nggak liat pas Mas Haechan dateng. Tunggu di sini bentar kali, ya." Monolog Runa seraya merapatkan sweater-nya setelah melirik ke dalam toko.

Hampir dua puluh menit.

Gadis itu masih setia berdiri di teras toko. Mengamati jalan dan cafe itu, melempar pandangan pada siapapun yang lewat. Hujan sore itu mulai reda, berganti rintikan gerimis kecil yang menciptakan titik-titik di permukaan genangan air di sepanjang jalan. Semburat senja muncul dengan samar, tertutup sisa-sisa awan mendung.

Sudut bibir gadis itu lantas meninggi ketika dilihatnya seseorang di bawah payung marun itu. Tanpa menunggu lama, Runa berjalan cepat menuju lelaki yang berdiri di depan cafe itu.

"Mas Haechan!" Panggil Runa. Kecipak air yang membasahi sepatu ketsnya ketika melangkah menubruk genangan air itu tak dipedulikannya.

"Loh, kamu abis dari mana? Tadi kenapa nggak bisa saya telepon?" Tanya Haechan ketika gadis itu menghentikan langkah di depannya. Maniknya mengikuti arah datangnya Runa. Lantas lelaki itu mengarahkan payung yang menaunginya ke arah Runa juga.

"Neduh di toko itu. Maaf, ya, Mas, handphone Runa mati nih."

Haechan mengangguk sekali, "ternyata cafenya tutup, ya. Pasti kamu udah dari tadi nunggunya."

"Belum terlalu lama kok."

"Maaf, ya. Tadi saya nunggu hujannya agak reda dulu karena khawatir kalau nerjang pas deras kena luka."

"Iya, Mas. Nggak apa-apa kok. Oh, iya, payungnya Mas yang pake aja, nggak muat buat berdua tau. Nanti punggung Mas Haechan basah."

"Nggak kok, udah tinggal gerimis kecil gini nggak apa-apa."

"Oh, iya, ini jadinya mau ke mana dong? 'Kan cafenya tutup," pandangan Haechan bergerak menyusuri sekitar.

"Terserah Mas Haechan."

"Laper nggak? Ke warung burjo mau?"

"Mas Haechan bukannya nggak suka bubur kacang ijo?"

Sederhana, tetapi berhasil membuat Haechan sedikit salah tingkah. Sudut bibir lelaki itu sedikit tertarik kala disadarinya sang gadis yang tak lupa dengan hal kecil itu.

"Iya sih, makan mie instan aja."

"Mie 'kan banyak micinnya, Mas."

Haechan terkekeh kecil, "nggak apa-apa, saya udah lama nggak makan mie instan. Gimana? Mau?"

Alur - [Haechan]Where stories live. Discover now