EMPAT PULUH (A)

3.5K 212 26
                                    

Bismillahirahmanirahim
Mas Fathan dan Nania kembali...
Di vote dan di komen yaa biar aku juga semangat nulisnya..

***

Mas Fathan

***

"Kak,  bangun, kak." Airi mendekatkan minyak kayu putih dihidung Nania. Berharap kakak iparnya bangun. Dia juga sama sedihnya dengan Nania. Mamanya sudah menangis tersedu sedu sedangkan sang papa hanya bisa menenangkan keadaan. Berkali kali ia menelpon ponsel Fathan tidak bisa terhubung. Terakhir kali ia menerima pesan dari Fathan hanya kabar kalau kakaknya akan pulang hari ini.

"Engh.. " Nania melenguh karena bau minyak kayu putih di hidungnya. Tangan dan kakinya terasa dingin.
"Mas mana,  Ai?" tanyanya.

Airi hanya menggeleng sedih. Nania segera duduk dari posisi berbaringnya.

"Papa,  mau jemput Mas,  kan? Kenapa belum berangkat? Nanti mas nunggu lama pa," ayah mertuanya hanya bisa menatap iba. "Ayo pa,  Nania ikut,  pa." Nania segera berdiri.

"Biar papa konfirmasi lewat telepon aja,  ya nak. "

"Pa, Mas nanti nunggu lama pa." mau tidak mau Putra menuruti kata mantunya.  Ia juga ingin menyangkal berita itu dengan berharap bertemu putra sulungnya di bandara.

Ia berangkat bertiga bersama Airi. Maudy istrinya tidak diizinkan ikut. Ia khawatir istrinya semakin sedih saat tidak sesuai dengan harapan.

"Kita berangkat,  tapi kamu harus kuat ya,  nak. "

Nania berjalan di papah Airi, berulang kali ia hampir terjatuh saat keluar dari rumah. Ia harap suaminya bukan salah satu korban pesawat yg hilang kontak itu. Ia harap mimpi buruknya tidak terjadi lagi.

Kakinya lemas,  badannya berkeringan dingin saat mobil sudah memasuki pintu masuk ke bandara. Air matanya tak berhenti menetes. Dia harus bertemu suaminya. Dia tidak mau suaminya bernasib sama seperti Abimayu. 

Mas jangan tinggalin aku.

Mereka berlari ke arah informasi area. Nania rasanya ingin mati saat harus memasuki area bandara. Dadanya sesak mengingat kematian Abimayu. Ia masih ingat bagaimana bunda dan ayah menangis tersedu sedu. Dia tidak ingin semua itu terulang pada Fathan.

Bagian infomasi penuh. Begitu banyak orang yg mendatangi bandara untuk mengonfirmasi kerabat mereka. Suara tangis dan teriakan terdengar membuat Nania semakin sesak.

"Biar papa yang tanya."

Nania hanya mengangguk. Rasa takut dan bersalahnya kembali muncul saat melihat keluarga korban berkumpul seperti ini.  Ayah mertuanya terlihat kesulitan untuk mencapai depan meja informasi karena wartawan juga sudah berkerumun disana.

Ia terduduk jatuh memeluk lututnya. Tangisnya tak bersuara. Napasnya tersengal sengal. Seperti suaranya sudah hilang. 

Nania lemas saat akan berdiri. Pandangannya hitam.

Bruuk

"

Kaak!!" 

Mendengar teriakan si bungsu,  Putra bergegas membantu menggendong Nania.

"Pa, kakak udah pingsan dua kali. Kita bawa ke RS dulu. Aku khawatir pa." Airi mengusulkan. Airi masih yakin kakaknya akan selamat. Dia tidak boleh jatuh saat seperti ini.

"Biar papa panggil dokter ke rumah aja. Kasian kakakmu kalau di RS sendiri."

***

Jam sudah menunjukan pukul 6 sore dan belum ada perkembangan mengenai kabar Fathan. Entah Maudy harus bersikap seperti apa, dia tidak tau bagaimana keadaan anaknya dan sekarang kondisi menantunya turun drastis.

Menurut dokter, Nania mengalami lemas karena terus menangis dan stres. Akhirnya dokter memasang ifus dadakan dirumah. Dokter juga meninggalkan resep obat yang harus ditebus di apotek.

"Nak makan dulu ya, infus aja gak cukup untuk badanmu." Nania menggeleng.

"Aku mau kedepan, Ma. Aku mau nunggu mas pulang." Air matanya menetes lagi.

"Tapi makan, ya, sayang." Maudy juga merasakan remuk di dadanya. Anak yang baru beberapa tahun kembali ke pelukannya mendapatkan musibah seperti ini.

"Makan dulu, ya, kak. Kalo kakak tau Kak Na sakit pasti kakak marah." Nania menggeleng lagi.

"Kakak mau ke depan," Nania yang akan berdiri dibantu Airi. Sedangkan Maudy jatuh terduduk di tepi kasur. Air mata membasahi pipinya. Dadanya terasa sesak mengingat bagaimana dia belum bisa menjadi ibu untuk Fathan tapi entah bagaimana keadaan anaknya kini.

Airi dan Nania berpindah ke ruang TV. Disana sudah ada Papa Putra dan beberapa pengurus rumah. Nania duduk di sofa menghadap Primetime news yg menayangkan tentang kecelakaan pesawat.

Nania kembali meneteskan air matanya. Kenapa dia harus kehilangan orang di sisinya lagi?

Kenapa harus karena pesawat lagi?

Kenapa saat mencintai seseorang,  orang itu harus pergi lagi?

Apa dia memang pembawa sial? 

Apa dia tidak boleh mencintai siapapun? 

Apa dia tidak boleh dicintai oleh orang lain?

Apakah tidak ada yang boleh berada disisinya?

Airi memeluk kakak iparnya karena Nania kembali menangis dan menggumamkan kata maaf berulang ulang.

"Sstt..  Kakak yang sabar, masih dikonfirmasi korbannya kak. Bukan salah kakak.. "

Airi ikut menangis mendengar Nania yang terlihat tersiksa. Putra menatap kedua anaknya dengan iba. Dia juga tak bisa melakukan apapun saat belum ada perkembangan dari pencarian pesawat.

"Assalamualaikum"

***

tbc...

2U (To YOU) (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang