DUAPULUH TIGA

8.5K 503 4
                                    

Tokoh dari Kisah Lama

***

Tangan mungil itu terulur mengambil kecambah kacang dari piring lalu memasukannya ke dalam mulut, mengunyahnya lalu ditelan. Berulang-kali ia melakukan hal yang sama hingga sebuah suara menahan gerakannya.

"Udah, Nyonya. Dari pagi nyonya belum makan nasi." Gadis itu tersenyum samar mendengar suara Bu Surti, ART di rumah itu.

"Nggak apa-apa kok, bi. Kata ibu Nania, Ini bagus biar cepet hamil." Nania kembali melanjutkan memakan taoge di hadapannya.

"Nyonya udah beberapa hari cuma makan nasi dikit kalau ada tuan saja. Nanti nyonya bisa sakit." Suara lain menyahut. Nania tak menggubris ucapan Bi Yanti, ART lain di rumah itu. Dia dan Fathan memang sudah seminggu tinggal di kediaman Fathan, dan empat hari terakhir ini dia selalu memakan taoge mentah tiap Fathan tak ada. Wajahnya sudah kelihatan tak tak bercahaya, matanya sayu dan bibirnya pucat.

"Saya mau ke kamar mandi dulu." Nania beranjak, tapi baru beberapa langkah tubuhnya limbung. Ia jatuh pingsan, membuat Bi Surti dan Bi Yanti panik seketika.

"Yan, telepon tuan, Yan! Sama telepon Dokter Krisna. Biar aku panggil Parto sama Ujang buat ngangkat Nyonya." Yanti segera menuruti ucapan Surti, sedangkan Surti sendiri sudah berlari ke belakang memanggil dua penjaga kebun yang sedang membersihkan kolam ikan.

"Istri saya kenapa?!" Fathan sampai di rumah dan dengan panik langsung mencari keberadaan istrinya. Dia melihat istrinya sudah di periksa oleh dokter kepercayaan keluarganya di sofa bed ruang keluarga. Napasnya tercekat di tenggorokan melihat istrinya yang terbaring dengan wajah pucat, dadanya nyeri seperti ada tangan tak kasat mata yang meremas jantungnya.

"Dia istri kamu, Than? Saya pikir siapa." Ujar dokter itu. "Keadaannya stabil, hanya saja dia kekurangan nutrisi untuk tubuhnya. Apa beberapa hari ini dia jarang makan?"

Fathan menggeleng, "Saya selalu meminta disediakan makanan begizi untuk istri saya."

"Anu, tuan..." Bi Yanti yang sedari tadi berdiri disana bersama Bi Surti menginterupsi perkataan Fathan. "Akhir-akhir ini Nyonya hanya makan kalau tuan di rumah saja."

"Apa? Terus dia nggak makan?"

"Nyonya makan taoge mentah, tuan." Ujar Bi Surti pelan. "Nyonya bilang supaya bisa cepat dapat momongan."

"Jadi begitu. Ya sudah, saya tinggalkan obat, tapi ada beberapa obat yang harus dibeli di apotek." Dokter Krisna menuliskan sesuatu di kertas yang ia bawa. "Untuk obat yang saya bawa diminum sesudah makan, untuk obat yang ditebus ini diminum sesudah makan. Semuanya tiga kali sehari. Dan tolong pola makannya diperhatikan agar hal ini tidak terulang."

Fathan menerima kertas dan obat itu dengan kaku, lalu mengantarkan Dokter Krisna keluar. Dia tak habis pikir dengan istrinya yang hanya makan taoge mentah, padahal istrinya itu hanya makan sedikit tiap mereka makan bersama.

"Bi, tolong tebus obatnya di apotek depan, ya." Fathan menyerahkan resep serta uang kepada Bi surti. "Yang lain bisa lanjut kerja, biar saya yang tunggu Nania."

Fathan duduk di pinggir sofa dengan memegang erat tangan Nania. Istrinya ini benar-benar membuatnya nyaris gila. Bagaimana tidak? Disaat ia menghadiri meeting dengan investor, dia meninggalkan investor itu karena menerima kabar istrinya pingsan dan dia yakin investor itu tak akan mau melanjutkan kerjasama. Belum sempat jantungnya berdetak normal, ia kembali dikejutkan kalau istrinya hanya makan taoge dalam beberapaa hari terakhir padahal sudah disediakan berbagai macam makanan favoritnya.

Fathan duduk tegak begitu mendengar istrinya melenguh. Perlahan Nania membuka mata dan menemukan Fathan sudah berada dihadapannya dengan tampang cemas. Dia segera mengambil posisi duduk dan dengan sigap Farhan membantunya.

"Mas, kok udah pulang?"

"Gimana mas nggak pulang kalau kamu pingsan?"

"Aku pingsan?" Tanya Nania tak percaya. Fathan mengangguk.

"Iya. Kenapa kamu cuma makan taoge kalau mas nggak dirumah? Hm?" Nania menunduk, menyadari kesalahannya.

"Aku kepengin bisa hamil, mas. Kita nikah udah lama tapi aku belum hamil sampai sekarang." Mata coklatnya mulai berkaca-kaca. "Mama juga mau cepet dapat cucu, kan, mas?" Fathan meraih wajah mungil istrinya agar mendongak.

"Sayang, mama nggak maksa. Mas juga nggak maksa supaya kita segera punya anak. Mungkin Allah belum kasih kepercayaan buat kita."

"Tapi, mas.."

"Mas nggak mau kita punya anak kalo kamu harus sakit begini. Allah pasti akan kasih kita anak, sayang, tapi mungkin nggak sekarang. Kita cuma harus berusaha dan berdoa." Fathan mengelus puncak kepala istrinya, "Yang penting kamu sekarang pulih dulu. Mas nggak mau kamu sakit begini."

"Maaf."

"Yaudah, sekarang kamu istirahat di kamar, ya." Fathan menuntun istrinya menuju ke lantai dua. Fathan segera membaringkan Nania dan menyelimutinya begitu sampai di kamar mereka. "Mas harus balik ke kantor. Kamu istirahat, nanti Bi Surti bawa makan sama obat kesini." Fathan mencium kening istrinya lalu mengucap salam. "Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam."

***

"Apa jadwal saya setelah ini?" Tanya Fathan begitu memasuki ruangannya. Dibelakangnya seorang wanita berparas ayu dengan tinggi semapai mengenakan baju kerja yang seksi mengikutinya.

"Bapak kosong setelah makan siang, jam empat nanti bapak ada janji temu dengan pemilik Crown hotel." Ujar wanita itu lancar.

"Lalu investor tadi?"

"Sesuai permintaan bapak, kami menyiapkan makan siang si restoran bintang lima serta pelayanan hotel yang tak akan mengecewakan pak. Satu lagi, Mr. Alfonso meminta waktu bapak untuk mengganti pertemuan di lain waktu, beliau masih ingin membicarakan kerjasama dengan bapak."

"Carikan saya waktu selain jam makan siang sampai satu jam setelahnya." Ujar Fathan tanpa menengok ke arah wanita itu. Fathan sudah sibuk dengan berkas-berkas dihadapannya.

"Baik, pak." Wanita itu tak beranjak, tapi malah emanggil bosnya. "Pak Fathan.."

"Kenapa Frida?"

"Anggap aku sebagai teman kamu, Than. Kamu selalu bersikap kaku kalau denganku." Frida berkata dengan nada manja. Frida adalah wanita yang berhasil mencuri perhatian dari Fathan saat kuliah dulu. Mereka satu fakultas di angkatan yang sama tapi tak pernah mendapat kelas yang sama. Fathan mengenal Frida dari Rayhan karena Rayhan dikenal sangat mudah berteman. Singkat cerita karena mengenal sifat Frida yang mandiri dan tak mudah menyerah, Fathan mulai menaruh hati padanya. Tapi sayang Fathan harus menelan pil pahit karena Frida menolak Fathan bahkan sebelum Fathan menyatakan perasaannya wanita berparas ayu itu lebih memilih berpacaran dengan orang lain yang dia anggap lebih segalanya dari Fathan.

"Kita di kantor. Tolong kamu profesional." Ujar Fathan formal. Dia sudah sibuk memikirkan ucapan Nania dan tak mau lagi menambah beban pikirannya.

"Yaudah, kalau gitu kita kencan biar kamu nggak kaku lagi sama aku." Frida tetap tak menyerah. Ia cukup menyesal karena tak tahu latar belakang Fathan. Jika dari dulu ia tahu Fathan adalan pewaris perusahaan kontruksi sebesar ini, ia akan memilih Fathan.

"Saya su-" ucapan Fathan terpotong karena pintu ruangannya diketuk. "Masuk!"

Ternyata pegawainya dari divisi pengembangan. Melihat orang itu Fathan berdiri dari duduknya. "Frida, kamu bisa keluar." Usir Fathan.

"Silakan duduk, Pak Jaya."

Ya. Lebih baik begini, pikir Fathan. Dia tak mau membuka peluang bagi wanita manapun untuk mendekatinya. Karena secantik apapun wanita itu dia tak akan mau berpaling dari pasangannya.

Fokusnya hanya satu, Nania, istrinya.

***

2U (To YOU) (ON HOLD)Where stories live. Discover now