TIGA PULUH DUA

8.6K 508 13
                                    

Damai

***

Nania tidak bisa terus bersikap abai pada Fathan. Dua hari berlalu dan ia lebih banyak diam saat bersama Fathan membuatnya lemas seketika. Rasanya tenaganya terkuras padahal ia tak melakukan hal berat. Ia jadi malas mengerjakan sesuatu, bahkan ia melewatkan kelas hari ini. Dia hanya datang ke kampus dan seharian tidur di perpustakaan universitas.  Dan baru terbangun saat ponselnya bergetar diatas meja yang menjadi tumpuannya. Kepalanya terasa pening akibat tidur dalam posisi tak nyaman dan terbangun secara mendadak. Tak lantas mengangkat panggilan, matanya memerhatikan sekitar yang sudah ramai padahal saat ia datang tadi, di perpus hanya ada para petugas serta dirinya. Hingga panggilan sudah berhenti baru ia meraih ponselnya. Jam sudah menunjukan pukul 14.15. Dia tersentak.

Dia belum melaksanakan ibadah!
Membereskan mejanya, ia segera turun ke lobi untuk mengambil tasnya. Beruntung masjid kampus terletak di belakang perpus, jadi ia tak memerlukan waktu yang lama untuk sampai ke masjid. Setelah selesai melaksanakan ibadah ia masih duduk di masjid hanya untuk sekedar ngadem dan mengecek ponsel. Grup kelasnya yang menunjukan ratusan pesan belum ia baca, ada juga grup sma yang sama ramainya, grupnya dengan sahabat barunya juga pesan pesan pribadi yang di dominasi oleh pesan dari Fathan. Ia yakin kalau kali ini Fathan kebingungan mencarinya mengingat jadwal hari ini ia hanya ada satu mata kulian pagi.

Baru saja ia membuka chat dari Fathan, ponselnya kembali bergetar menapilkan nomor ponsel suaminya itu. Terdengar helaan napas disana sebelum ia mendengar salam.

"Kamu dimana?" Tanya Fathan tanpa tedeng aling-aling. "Pak Parto udah jemput kamu dari jam sepuluh tapi kamu nggak muncul. Dihubungi nggak bisa. Bahkan temanmu nggak ada yang tau kamu kemana. Kamu juga nggak masuk kelas. Pak Parto udah nunggu dua jam lebih karena kamu nggak angkat teleponnya!"

Nania menggigit bibir bagian dalamnya. Kesalahannya kali ini memang sudah fatal. Mengabaikan semua orang karena masalah pribadinya. Ia salah karena sudah merugikan dan membuat orang disekitarnya khawatir.

"Aku... Dikampus." Jawabnya pelan setelah mengatur napas.

"Kamu-" helaan napas terdengar lagi. "Tunggu disana. Mas jemput. Kamu di gedung mana?"

"Masjid kampus."

"Mas jemput. Jangan kemana-mana." Nania mengangguk. Lalu terdengar salam yang kemudian ia jawab sebelum telepon terputus. Nania tak beranjak dari duduknya di dekat kaca di lantai dua masjid. Matanya melihat ke luar. Mengamati orang orang yg berlalu lalang di depan masjid hingga sebuah mobil yang begitu ia kenal berhenti di dekat tangga naik ke masjid.

Lagi-lagi jantungnya berdetak lebih kencang melihat sosok yang muncul dari balik kemudi. Ponsel digenggamannya bergetar saat sosok itu, suaminya turun dan berjalan menaiki tangga. Tanpa jas, hanya mengekana setelan formal biasa,--sepatu mengilap, celana kain dan kemeja tanpa dasi--, lelaki itu bisa menarik seluruh perhatiannya.

Lelaki itu bisa menarik perhatian kaum hawa juga menarik rasa penasaran kaum adam yang berlalu lalang disana.
Tanpa mengangkat panggilan, Nania menarik tas punggungnya dan berjalan cepat menuruni tangga menuju basement --tempat wudhu putri sekaligus tempat menaruh sepatu. Ia memakai flatshoes-nya dengan asal. Lalu berjalan cepat keluar dari sana. Menghampiri sosok yang begitu menyita seluruh pikirannya. Begitu matanya menatap sosok itu, langkanya memelan. Sambil mengatur napas, ia berjalan pelan hingga berhenti satu meter dihadapan suaminya.

Fathan menyimpan ponselnya begitu melihat Nania menghampirinya. Masih sama. Penampilan istrinya masih memesona. Membuatnya tak bisa berpikir seakan otaknya tiba tiba berhenti menjalankan tugasnya. Namun jantungnya yang berdetak cepat terasa nyeri saat saat melihat mata coklat itu tak berbinar seperti biasanya.

2U (To YOU) (ON HOLD)Where stories live. Discover now