DUA PULUH DUA

8.5K 515 2
                                    

Kepulangan

***

"Kakaak..!!" Fathan yang baru memasuki gerbang rumahnya terkesiap mendengar suara cempreng milik adiknya.

Hap!

Benar saja, adiknya langsung berlari dan melompat ke arahnya, beruntung dia tanggap dengan situasinya sehingga bisa menangkap tubuh adiknya.

"Kangeenn.." Fathan balas memeluk adiknya. Airi, adik Fathan, menatap wanita yang ada di belakang Fathan dengan mata coklatnya. Binar matanya terlihat bahagia. Ia segera melepaskan pelukan Fathan, melewati kakak lelakinya begitu saja dan berhambur ke pelukan wanita itu.

"Kakak ipar akuu.." ujarnya penuh semangat ketika memeluk Nania, sedangkan Nania hanya bisa tersenyum dan membalas pelukan Airi dengan canggung. "Kakak, nanti kakak harus jadi modelku, ya? Pokoknya harus! Nanti aku bikin kakak jadi cantiik pokoknya!" Airi menggiring Nania masuk ke dalam rumah meninggalkan Fathan yang menatap dua perempuan itu dengan gelengan kepala.

"Mama! Kakak pulang...!" Teriak Airi begitu memasuki ruang tamu. Sedangkan Nania memandangi rumah itu dengan tatapan kagum. Rumah itu mirip dengan rumah dalam drama korea yang sering ia tonton : pintu besar, ruangan luas, sofa tertata rapi, ada guci-guci besar yang di tempatkan dengan sedemikian rupa, juga ada lampu gantung besar di langit-langit.rumah.

Maudy berjalan dengan anggun saat menuruni tangga untuk menghampiri mereka. Wajah cantiknya masih terpancar meskipun sudah ada gurat-gurat keriput di ujung matanya. Nania segera mengecup punggung tangan ibu mertuanya begitu Maudy sampai di hadapan. Ibu mertuanya utu lalu memeluk tubuh kecilnya.

"Kenapa nggak bilang dulu? Kan bisa dijemput." Ujar Maudy.

"Katanya Mas Fathan udah bilang ke Mama."

"Bilang apa? Anak itu cuma bilang mau pulang bentar lagi tapi nggak bilang tanggal berapa." Maudy mengomel. "Istirahat dulu aja, ya. Sini mama tunjukin kamar Fathan." Maudy menarik Nania menuju kamar Fathan. "Kamu!" Maudy menunjuk Fathan. "Anak Bandel, bawa barang mantu mama ke atas!"

Fathan hanya bisa pasrah. Salahnya memang karena tidak mengabarkan kepada keluarganya kalau dia dan istrinya akan pulang, dia juga melarang Nania menghubungi mamanya. Fathan menatap adiknya memelas, meminta bantuan karena selain membawa dua koper mereka juga membawa dua ransel : satu milik Fathan satu lagi tas sekolah Nania.

Airi melengos meninggalkan Fathan sendiri sambil berguman, "Ah iya. Tadi mau nyiram bunga." Fathan menghela napas lalu menarik dua koper itu di kedua tangannya, Sedangkan Nania dan Maudy sudah memasuki kamar Fathan.

"Kalian tadi naik apa? Fathan nggak bilang apa-apa soalnya." Tanya Maudy.

"Naik kereta, ma."

"Lho kenapa? Kan lama. Kenapa nggak naik pesawat aja?"

Nania tersenyum kecil sebelum menjawab. "Aku nggak bisa naik pesawat, ma." Jawabnya pelan.

"Kamu mabuk udara?" Nania menggeleng.

"Nania nggak bisa naik pesawat, ma. Ada trauma, dikit."

"Ya ampun. Maafin mama, ya. Mama nggak tau." Ujar Maudy menyesal. Nania tersenyum sambil mengangguk.

"Nggak papa kok, ma."

"Yaudah. Kamu istirahat aja, ya. Pasti capek, kan?"

"Makasih, ma." Maudy keluar kamar putranya meninggalkan sang menantu sendiri. Dia melengos melewati putranya yang baru sampai di lantai dua.

Fathan memasuki kamarnya dengan napas terengah membuat Nania yang sebelumnya duduk.di tepi kasur beranjak mendekatinya. Dua kopet berisi baju dan oleh-oleh memang beratnya bukan main, apalagi kalau harus naik tangga.

"Capek, ya?" Fathan tak menjawab malah menikmati belaian tangan mungil Nania di pipinya. "Mandi dulu sana, biar aku beresin bajunya."

"Eh, nggak usah diberesin. Lusa kita pulang." Cegah Fathan.

"Kita kan udah pulang, mas. Kita tinggal sama mama, kan?" Ujar Nania heran. Mereka kan memang sudah pulang.

"Bukan disini, sayang. Kita tinggal di rumah kita. Mas udah mempersiapkan rumah untuk ditinggali keluarga kecil kita."

"Rumah kamu sendiri?"

"Rumah kita." Ralat Fathan. "Sekarang, semua milik mas juga milik kamu."

Nania menatap lekat wajah Fathan. "Makasih, mas. Tapi itu semua milik kamu, aku nggak ada hak sedikitpun sama semua milik kamu."

"Kamu istriku, jelas dong semuanya punyaku itu milik kamu dan anak kita nanti." Sungguh, Nania terharu dengan ucapan Fathan. Terakhir kali ia mendengarkan kata-kata tulus seperti itu dari Abimayu hampir empat tahun yang lalu. Dan sekarang kata-kata itu datang dari Fathan, lelaki yang berstatus sebagai suaminya, yang mau berbaik hati menerimanya.

Apa sekarang saatnya ia memantabkan hati?

***

"Istrimu belum isi?" Malam itu entah kenapa Maudy mengajak Fathan berbincang berdua setelah semua sudah tidur.

"Mungkin belum rezeki, ma. Fathan juga nggak menuntut punya anak sekarang, Nania juga masih harus kuliah." Jawab Fathan jujur.

"Tapi dia sehat, kan?"

"Sehat, ma. Mama juga, kan yang antar dia cek ke dokter."

"Iya. Tapi kalian kan udah hampir sepuluh bulan nikah. Masa belum isi juga. Jangan-jangan istrimu belum ngasih."

"Ma, mungkin memang belum di kasih sama Tuhan. Istri Fathan juga masih muda, masih banyak peluang buat punya anak." Jawab Fathan.

"Bukannya mama mau maksa kamu cepet-cepet punya anak, tapi apa belum ada tanda-tanda apapun?"

"Ma.."

"Ya udah. Mama nggak akan tanya. Istrimu baik, kan?" Tanya Maudy mengalihakan percakapan.

Tanpa mereka tahu, ada sepasang telinga yang mendengar percakapan mereka. Ulu hatinya terasa nyeri saat menyadari kalau dia belum benar-benar menjadi istri yang baik bagi Fathan selama ia belum mengandung. Nania segera berbalik ke kamar, mengurungkan niatnya mengambil air putih di dapur.

Disisi lain, Fathan hanya bisa menjawab jujur bagaimana istrinya memerlakukan dia di rumah dengan baik, selalu memastikan perutnya kenyang juga keperluannya terpenuhi. Dan itu semua cukup membuat Maudy tersenyum bangga karena menantunya bisa menjadi istri yang baik di usia yang masih belia. Meskipun dia belum mendapatkan cucu, ia cukup senang karena Fathan tak salah memilih istri.

***

Tbc...

2U (To YOU) (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang