Mimpi Ayah.

1.2K 129 30
                                    

Part 38

"Maaf, kurasa ini bukan duniaku."

////
Jimin kembali membuka matanya, namun bukan dinding putih dengan bau seperti rumah sakit yang Jimin dapati, melainkan padang rumput luas yang langsung menyajikan langit cerah di atas sana.

Jimin menyipitkan kedua matanya, menghalau cahaya yang begitu terik dari matahari. Lalu tubuh itu bangkit, berdiri dan merasakan pijakannya pada rumput liar yang menggelitik.

Lagi, ia harus terjebak di dalam halusinasi.

Jimin mengedarkan pandangannya, melihat sekeliling yang mana hanya ada rumput dan ilalang yang menutupi jalan di depan sana. Terlihat sangat jauh karena padang rumput yang begitu luas.

Tak ada yang bisa Jimin lakukan. Maka tubuh itu hanya kembali duduk. Membiarkan tubuhnya menyerap cahaya matahari yang seakan membakar punggungnya. Jimin sadar jika seharusnya ia tidak boleh berada di sini lagi. Ia tidak boleh datang lagi. Tapi entah bagaimana caranya, mimpi seperti ini harus kembali menghantuinya.

Setelah sekian lama Jimin hanya memimpikan layar hitam dengan dirinya yang seakan terjebak di dalam gua sendirian, untuk pertama kalinya Jimin kembali memimpikan dunia lain.

Ibu.

Ya, Jimin biasanya akan bertemu dengan ibunya jika sudah datang ke sini.

Maka sekali lagi pria itu mengamati sekeliling. Memutar tubuhnya agar dapat meneliti setiap sudut dari padang rumput itu.

Jimin berdiri. Melangkah terburu-buru tanpa arah. Ia hanya akan berlari, memutar dan...

"IBU!"

Meneriakan panggilan untuk sang ibu.

"IBU!"

Lagi, hingga langkahnya tak kembali dipacu. Ini bukan kemaunnya, tapi kedua kakinya seakan berat. Bumi seperti menarik kedua kakinya agar tetap bertahan dan jangan melangkah lebih jauh.

Lalu setitik cahaya itu datang menghampiri Jimin.

Tunggu,

Sejak kapan ada pintu di hadapannya?

Cahaya yang berterbangan bagai bintang itu secara perlahan menjadi membesar. Semakin besar dan semakin silau kilauannya, membuat Jimin menutup kedua matanya.

Lalu angin yang begitu halus menerpa wajahnya, seketika Jimin seperti bisa bernapas untuk pertama kalinya. Oksigen yang memenuhi ruang paru-parunya itu seakan melegakan segala kekhawatiran yang Jimin rasakan.

Dan kedua mata itu kembali terbuka, mengerjapnya beberapa kali dan berhasil menetralkan pandangan yang sebelumnya, dapat Jimin pastikan, bahwa dihadapannya adalah sebuah titik cahaya bukan ibu dan juga ayahnya.

Tapi mengapa bisa?

"Ibu... A-ayah?"

Kedua insan itu tersenyum. Sang Ibu lantas mengangguk dan mendekat kearah sang putra.

"Kita bertemu lagi. Jimin senang?"

Jimin mengangguk. Sangat, dirinya sangat senang. Ketika sang ibu hadir dalam mimpinya seperti ini, selalu saja sukses membuat Jimin merasa seperti 'tidak mau pulang.' Seakan mimpi yang tengah menjebaknya kini adalah betul-betul dunianya.

Promise. [1]Where stories live. Discover now