Janji.

1.3K 155 26
                                    

Part 32

"Ayo berjuang lagi, Jim. Aku tahu kamu kuat."


///
Jimin lagi-lagi terbangun di hamparan rumput hijau yang jika dilihat dengan mata manusia, mungkin kata ‘tiada ujung’ mampu mendeskripsikannya. Jimin sudah tidak asing dengan tempat ini, tapi gelenyar rasa takut masih saja ia rasakan. Pertanyaan seperti ; bagaimana jika ia tidak bisa kembali? Atau bagaimana jika ia terjebak di dalam dunia fantasinya dan ia sendirian di sini?, masih saja terus menghantuinya.

Matahari terasa menyengat dari atas sana. Membuat Jimin berjalan perlahan dengan kaki telanjang menuju pohon besar yang hidup satu-satunya di hamparan rumput seluas ini. Menyenderkan tubuhnya pada batang pohon yang sangat besar itu dan menjadikannya sandaran. Ia benar-benar sendirian.

Lalu ia memainkan rumput yang terasa menggelitik telapak kakinya. Mencabuti rumput-rumput yang terlihat cukup panjang dan menghambur-hamburkannya bak anak kecil yang baru mengenal rumput. Dilihatnya lagi langit yang tampak menguning dengan tiba-tiba, apakah itu senja? Jiminpun berdiri, berjalan menjauhi pohon tersebut dan tanpa sengaja melihat siluet wanita mendekatinya. Tampak cantik walau hanya dilihat dari bayang hitamnya saja sebab wanita itu yang membelakangi cahaya matahari yang akan tenggelam.

Jimin tanpa sadar berlari menghampiri siluet tersebut, tampak sangat rindu jika dilihat dari ekspresi wajahnya. Lalu siluet itu menjadi nyata ketika Jimin akhirnya bisa memeluknya dengan erat. Jimin benar-benar rindu sosok wanita di dalam dekapannya kini.

“Ibu...”

Seketika rasa takut berada pada dunia fantasi ini lenyap begitu saja ketika Jimin bisa melihat kembali sosok wanitanya, ibunya. Bidadarinya yang sudah lama seakan tidak pernah hadir dalam mimpinya.

Wanita itu hanya kembali memeluk tubuh sang anak dengan tangan hangatnya dan mengusap kepala bagian belakang Jimin dengan halus. Mencium puncak kepala Jimin berkali-kali sebelum pada akhirnya ia menyudahi pelukan rindu itu dan beralih untuk menatap kedua manik coklat Jimin yang membuat Jimin kian dihantam rasa rindu yang mendalam. Ayolah, Jimin masih bisa berpikir bahwa ibunya hanya hasil dari fantasinya semata. Walaupun nyata, tapi sebenarnya semu. Walaupun dekat, tapi sebenarnya jauh. Sangat sulit digapai walau sudah sedekat ini.

Perasaan itu kembali lagi, pertanyaan “bolehkan jika aku tetap tinggal disini?” kembali menghantam kesadaran Jimin. Seakan melupakan bagaiamana rasa takutnya ia ketika baru pertama kali menginjakkan kakinya di sini. 

“Jimin kembali nakal? Kenapa kau di sini?”

Ibunya mengelus kepala Jimin sembari bertanya. Sedangkan Jimin hanya diam dan menikmati setiap perlakuan yang Ibunya lakukan padanya. Kenapa tangan seorang Ibu bisa senyaman ini?

“Aku tidak nakal, bu. Tapi dia yang nakal!”

Jawab Jimin sembari menunjuk bagian dadanya sendiri. Seakan menyalahkan ‘teman’nya untuk situasi seperti ini.

Lantas si Ibu hanya tersenyum sendu dan sekali lagi mengelus kepala sang anak tercinta. Meraih tangan mungilnya dan membawa sang anak ke pohon besar yang dijadikan tempat Jimin berteduh beberapa saat yang lalu.

Menyuruhnya duduk di atas rerumputan dengan dahan pohon yang lebat sebagai atapnya. Tapi Jimin tidak duduk di sebelah ibunya, ia malah sudah tiduran dengan paha sang Ibu sebagai bantalnya. Sang Ibu lantas memainkan rambut sang anak dengan gemas.

Promise. [1]Where stories live. Discover now