Terimakasih.

1.4K 126 41
                                    

Part 39

"Terimakasih sudah menepati janjimu."

////
Pagi kembali menyapa untuk kesekian kalinya bagi Jimin untuk bisa pria itu nikmati hanya dibalik jendela kamar rawatnya. Menyaksikan sendiri bagaimana embun mengumpul dan kembali hilang karena sinar matahari yang mulai menyinar, membuat air embun menguap dan sirna.

Agaknya Jimin menyadari sesuatu dari embun.

Tentang bagaimana kehidupan yang dibuat dengan tangan dingin Tuhan, sama seperti embun yang diciptakan oleh dinginnya malam. Lalu manusia mulai bisa berjalan layaknya embun yang memencar dipermukaan jendela kamar. Mencari jalannya sendiri-sendiri, seperti manusia yang pada hakikatnya akan mencari jati diri.

Lalu embun menguap karena sinar hangat mentari, seperti manusia yang akhirnya mulai sekarat dan pada akhirnya berpulang pada pangkuan Tuhan yang hangat.

Manusia jika sudah mati, maka matilah. Hanya tinggal nama, itupun jika masih ada yang mengingatnya.

Tapi anehnya, ketika dirinya sudah mulai sekarat di ujung hidupnya, Jimin tak kunjung dipulangkan pada pangkuan Tuhan.

Ibunya meninggal karena kanker yang begitu lama dibiarkan begitu saja didalam tubuhnya. Jimin yakin, jika pada saat itu sang Ibu lebih memilih untuk fokus pada kesehatannya dan tidak memilih untuk melahirkan dirinya, ibunya pasti masih ada di sini.

Lalu Ayahnya meninggal karena dirinya juga. Jika saja Jimin tidak sakit dan tidak membuat ayahnya keluar rumah untuk menuju rumah sakit pada saat itu, pasti Ayahnya masih ada disini.

Hidup bahagia sebagai pasangan suami istri.

Setiap lamunan yang Jimin ciptakan, disetiap itu pula Jimin semakin menciptakan jurang hampa pada hatinya. Menyalahkan dirinya sendiri, berandai jika dirinya tidak hadir, berandai jika ia mati lebih awal, dan segalanya tentang bagaimana Jimin mencoba melenyapkan dirinya sendiri.

Jurang yang sedari awal sudah cukup dalam itu kini semakin curam dan gelap.

Tapi entah bagaimana caranya, pagi ini Jimin seperti melenyapkan jurangnya sendiri.

Mengingat bagaimana mimpinya semalam tentang pertemuan dirinya dengan kedua orang tuanya,

"Jim, Ayah sudah bahagia."

"Ayah benar-benar sudah bahagia"

Tentang bagaimana senyum meneduhkan sang Ibu.

Sukses membuat Jimin menghilangkan segala keresahan dalam hatinya.

Benar kata Ayahnya,

"Ibumu pernah mengatakan untuk tidak menyalahkan dirimu atas apapun yang terjadi, tapi kenapa, Jim? Kenapa anak Ayah menjadi tidak menurut, hmm?"

Ya. Seharusnya ia sadar sedari lama. Tentang dirinya yang tidak boleh menyia-nyiakan sesuatu, termasuk dirinya sendiri. Dia harus memaafkan segalanya, segala tentang dirinya yang ia benci selama ini.

"Mari berkumpul lain kali, Ayah... Ibu."

Dan pagi ini Jimin kembali bangun dengan senyum secerah matahari. Berkat kedua orang tuanya yang datang dalam mimpinya semalam, kini Jimin telah kembali. Benar-benar kembali.

Promise. [1]Where stories live. Discover now