Delapan belas

8.1K 650 86
                                    

Sudah tiga hari, dimana Gavin menutup matanya untuk tertidur. Diruangan serba putih itu, Gavin sendiri. Entah dimana keberadaan the eshtray. Hanya alat pendeteksi jantung serta suara jarum jam yang menemani hari hari Gavin.

Tanpa seorang tau, jari jemari Gavin mulai bergerak lirih. Akhirnya setelah tiga hari tertidur, Gavin membuka mata indahnya kembali, sesekali berkedip untuk menyesuaikan cahaya yang ada diruangan itu dengan matanya.

Gavin melirik ke seluruh ruangan. Kepalanya masih terlalu kaku untuk digerakan. Gavin meringis dalam hati, apa dikondisinya yang sekarang ayah serta Kavin tidak peduli bagaimana keadaannya?.

Seorang suster masuk keruangan Gavin. Memeriksa berbagai alat yang Gavin tidak tau apa namanya itu. Dengan tubuh lemasnya Gavin mencoba bertanya kepada sang suster.

"Shh-suss"lirih Gavin, karena dihidung dan mulutnya juga terdapat masker oksigen.

Suster itupun menoleh, tersenyum manis kepada Gavin. "Gavin sudah sadar?"tanya suster itu sembari mengusap rambut Gavin. Gavin hanya menganggukan kepalanya.

"pp-papah"ucap Gavin. Suster itu mematung, selama tiga hari merawat anak remaja ini. Tak ada seorangpun dari pihak keluarganya yang menjenguknya. Hanya beberapa orang berbadan kekar yang menyebut dirinya sebagai Om dari Gavin yang menjaganya.

Dokter Zeus juga bercerita tentang Gavin, yang membuat hati sang suster trenyuh atas perjuangab yang dilakukan sendiri oleh Gavin. Tanpa penopang dan juga tanpa sandaran. Sungguh Gavin yang malang.

"ppapah dimana sus?"tanya Gavin sekali lagi, namun suster itu tak menjawabnya.

"masih ga peduli ya"ujar Gavin. Ia memejamkan matanya diiringi air matanya yang menetes di kedua matanya. Sungguh ini adalah takdir yang menyakitkan bagu seorang Gavin.

"Sebaiknya nak Gavin istirahat dulu ya, nanti saya panggilkan dokter Zeus untuk memeriksa kondisi mas Gavin"Ucap suster itu diakhiri mengusap surai hitam Gavin lantas pergi dari ruangan Gavin.

Gavin termenung sendiri, didalam sebuah kamar rumah sakit yang menjadi saksi bisu atas perjuangan Gavin. "Bunda, Gavin kangen".

*****

"Lo harus tanda tangani ini, Mahardika"Tegas Doni, dihadapannya terdapat surat adopsi Gavin. Doni tak rela jika Gavin terus tinggal di neraka itu.

"Gue ga mau Doni"ucap Mahardika tak kalah tegasnya.

"Kalo lo ga mau tanda tangani ini, perlakukan Gavin seperti lo memperlakukan Kavin, Mahardika. Berhenti bersikap egois"terang Doni.

Mahardika memutar bola matanya malas, terlalu membosankan jika ia berhadapan dengan Doni yang menurutnya sok tegas dan sok peduli terhadap masalah di keluarganya.

"iyaiya, udah sana pergi, ngotorin rumah gue aja"Usir Mahardika yang dibalas gelengan Doni.

*****

Masih dengan kesendiriannya, di ranjang rumah sakit Gavin melamun. Ia bertanya didalam hati, apakah ayah dan kakaknya menganggapnya tiada?. Setelah dokter Zeus memeriksanya, semangat Gavin turun kembali mendengar kondisi tubuhnya yang begitu lemah.

Kemudian tanganGavin yang tidak diinfus memegang dadanya. Mengusapnya pelan sembari menutup mata. Gavin harus kuat, Gavin harus bisa mendapatkan kembali pelukan sang ayah sebelun ia menyusul bundanya. Gavin tidak boleh lemah untuk saat ini.

"Paru-paru, kamu harus kuat ya, Maafin Gavin yang ga sayang sama kamu, sekarang ayo kita berjuang, untuk mendapatkan pelukan ayah kembali"monoloh Gavin sembari memegang dadanya.

Tangan Gavin lantas beralih ke perut ratanya, mengusapnya perlahan. "Perut, kamu juga harus bisa kuat, ayo sama sama berjuang demi suapan papah sama Kavin. Perut mau kan nerima makanan dari suapan papah?"ucap Gavin sendu.

Dengan lirih, Gavin menatap nakas yang berada di sampingnya, ia haus. Setelah beberapa jam bangun dari tidur panjangnya tanpa disambut kasih sayang siapapun. Dokter zeus tengah memeriksa keadaan pasien lain. Dan suster pun tak ada yang menemani Gavin.

Ceklek

Seketika Gavin menoleh ke arah pintu. Disana, Seseorang berhoodie hutam, bertopi, lalu bermasker datang menghampiri Gavin. Gavin sendiri was was terhadap keberadaan orang itu.

"Siapa kamu?!"seru Gavin.

Orang itu tersenyum dibalik maskernya. "Bagaimana kondisi kamu, Gavinio Mahardika?".

Deg

Gavin mematung, suara itu, suara yang selama ini dia rindukan, apakah Gavin bermimpi Bagaimana bisa dia ada disini?.

"b-bang, Ga mungkin, ini pasti cuma mimpi. Ga mungkin bang Andi masih hidup, Enggaaa mungkin?!!!!"teriak Gavin histeris. Andi pun segera memeluk Gavin untuk menenangkan anak itu. Akhirnya setelah beberapa saat menerima pelukan dari Andi Gavin pun menjadi sedikit tenang.

"Gavin.. Maafin abang"ucap Andi sembari membuka topi dan maskernya.

Gavin yang belum tersadar sepenuhnya hanya bisa terdiam menatap tubuh sang kakak sepupunya dengan mata yang masih berair.

"b-bang Andi"sahut Gavin lirih.

Andi menoleh, mendapati wajah Gavin yang memerah akibat tangisannya tadi. Sungguh menggemaskan.

"ada apa hm?"tanya Andi sembari mengusap rambut Gavin.

"G-gavin mau papah bang"lirih Gavin.

"nanti abang sampein ya, kamu juga harus kuat, katanya kamu mau dapet pelukan dari om mahardika"kata Andi yanga berusaha menenangkan Gavin.

Gavin mengangguk, mengiyakan nasihat sang kakak sepupunya. Entah mengapa, Gavin rasa Gavin tidak perlu menceritakan apapun lagi terhadap Andi. Toh.. Kakak sepupunya ini pasti sudah tau semuanya tentang kondisinya dan juga, masalahnya.

****

Malam ini, terhitung sudah ketiga kalinya Gavin berbolak balik menuju kamar mandi karena rasa mual yang dirasakannya. Sayang, tak ada seorangpun yang menemani Gavin disaat kondisi seperti ini. Sungguh Gavin yang malang. Andi, sore tadi izin pulang ke rumahnya karena besok ia akan menghadapi sidang skripsi kuliahnya. Sedangkan teman temannya. Mereka menjenguk namun tak menginap.

Gavin memegang perutnya yang terasa sangat nyeri, ditambah sesak nafas yang mulai Gavin rasakan membuat tubuhnya semakin lemas. Namun sebisa mungkin ia berjalan menuju ranjang rumah sakit untuk merebahkan dirinya.

Akhirnya perjuangan Gavin tidak sia sia, tanpa bantuan orang lain, Gavin berbaring di ranjang rumah sakit. Matanya memejam, tangannya memegang perut dan dadanya sesekali menetralkan deru nafasnya yang kian menipis. Gavin tidak boleh menyerah saat ini. Gavin ingin menyerah di pelukan sang ayah.

Perlahan kesadaran Gavin terrenggut oleh kegelapan. Tanpa sepengetahuan orang, Gavin bergumam menyebut nama Sang Pencipta, menyebut nama Ibunya, menyebut nama Ayahnya, dan menyebut nama saudaranya. Tubuh Gavin melemas, di iringi deru nafasnya yang tak lagi terdengar.

*****

Tbc

Jangan lupa follow

Jangan lupa tinggalkan jejak

Happy readinggg
Semakin banyak bintang, semakin cepat updateee

GAVINWhere stories live. Discover now