Dua Puluh Dua

9.2K 724 265
                                    

"lo bisa ga si, ga usah berisik, nanti kalo papah denger, lo digebugin lagi anjir"kesal Kavin. Gavin hanya tersenyum.

"ya.. Maaf, tapi gue terbawa suasana Kav"ucap Gavin. Kavin hanya berdehem mengingatkan.

"nih, gue ada sweater, buat lo aja"

"makasih Kav, walaupun sifat lo diluar keras, lo tetep Kavin yang gue kenal dulu"ucap Gavin tulus.

"dah sana, gue mau belajar bisnis"ketus Kavin lalu duduk dimeja belajarnya.

"belajar bisnis?"

"lo mana mungkin ngerti"

Gavin berjalan mendekat ke arah Kavin, ia lalu mengamati apa yang sedang Kavin lakukan. Dari mulai membaca dokumen yang Gavin yakini adalah kontrak kerja dan juga beberapa file penting yang tertera di laptopnya.

Gavin mengamati semuanya, salah satunya adalah ketika Kavin menghitung keuntungan saham yang ingin mereka tanam diperusahaan lain.

"ehh kav, tunggu"Ucap Gavin. Kavin lantas menghentikan kegiatannya.

"ada apa?"

"Hitungnya jangan gitu Kav, kalo lo hitungnya gitu, perusahaan kita cuma untung 15%, sedangkan target kita itu 21%, jadi mending lo hitung lagi yang bener"sahut Gavin.

Kavin tertegun, bagaimana Gavin bisa tau tentang bisnis yang menurut Kavin sangat membosankan ini?.

"K-kok lo bisa tau?"tanya Kavin heran.

Gavin menghela nafas lalu tersenyum tulus. Ia memegang bahu kanan Kavin.

"mau denger cerita ga Kav?"

"ha?"

"anak kecil yanh dulu selalu diajarin tentang bisnis oleh ayahnya, dan mirisnya anak kecil itu sekarang telah tumbuh dewasa dengan ilmu bisnis dihatinya tapi.. Udah dikira mati"lirih Gavin sembari menatap sendu langit-langit kamar Kavin.

Deg

Kavin tertegun.

Anak kecil itu adalah Gavin, yang seharusnya memegang perusahaan Mahardika.

"Gav-"

"gapapa kok Kav, gue sadar diri. Di ijinin tinggal disini aja, gue udah seneng"ucap Gavin yang membuat Kavin semakin sedih.

Gavin menoleh ke arah ranjang Kavin, dengan senyum lebarnya Gavin membaringkan tubuh kurusnya ke kasur.

"gue tidur disini ya, semalem aja, kamar gue dingin banget soalnya"kata Gavin lalu memejamkan matanya.

Sedangkan Kavin?, ia hanya diam memperhatikan tingkah laku Gavin. Dalam hatinya meringis pilu, apakah selama ini yang dilakukannya adalah salah?.

Kavin mengalihkan pandangannya ke bingkai foto keluarga lengkapnya dahulu, ketika kakak dan bundanya masih ada, ketika Gavin dan Kavin saling merangkul dengan memamerkan gigi coklat mereka.

"bunda.. Apa selama ini Kavin salah?"

"Kavin ga bisa ngelak kalo Kavin sebenernya sayang sama Gavin bun.. Tapi.. "

Hiks

Bukan, bukan Kavin yang menangis melainkan Gavin. Kavin yang terkejut lantas menoleh kearah Gavin yang sedang meringkuk. Ia dengan tergesa menuju kearah Gavin.

"Gav-Gavin, lo kenapa?"tanya kavin.

"hei bangun, jangan bikin gue khawatir anjir"

"Bundaa, sakit"lirih Gavin.

"Bunda hiks, bundaa, kakakk sakit, papahh hiks"rintih Gavin yang membuat Kavin menjadi kalang kabut.

"heii, G-Gavin, G-gue disini, Kavin disini"lirih Kavin sendu. Ia menepuk-nepuk puncak kepala Gavin.

GAVINWhere stories live. Discover now