Ketiga

9.2K 649 49
                                    

Sang surya malu malu menampakkan sinarnya, menggantikan tugas sang bulan yang telah lelah bersinar untuk mengisi kekosongan malan.

Gavin membuka mata perlahan kala sinar matahari memasuki netra indahnya dan mengusik tidurnya, beberapa kali ia mengerjapkan mata guna menyesuaikan cahaya yang masuk kedalam netra indah milik Gavin.

Setelah dirasa cukup, Gavin beranjak dari tempat tidur dan bersiap siap untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang pelajar yaitu sekolah.

Namun, rasanya badan Gavin hari ini sangat lemas, ditambah rasa sakit yang menjalar di bagian perutnya. Tak lupa wajahnya pun terlihat pucat tak ada rona seperti biasa.

Gavin menatap nanar pantulan diri di cermin, tak mau menyelami kesedihannya,  Gavin lalu bergegas mengambil tas punggungnya dan berangkat menuju ke sekolah. Padahal hari masih sangat pagi sekitar pukul 06.00, hanya siswa siswa teladan yang berangkat sepagi ini.

Gavin menuruni satu persatu anak tangga rumahnya, melewati ruang tv yang terlihat ayahnya sedang membaca koran, tak lupa secangkir teh hangat terlihat ada dimeja kecil samping sofa yang diduduki oleh ayahnya.

"Ehem, Gavin"

Panggilan ayahnya menghentikan langkah Gavin saat ia ingin membuka pintu rumahnya. Gavin membalikan badannya lalu berjalan menuju ke arah ayahnya. Tidak sopan jika ia menyahut dengan suara yang keras. Pikirnya.

"Ada apa yah?"tanya Gavin takut takut, wajahnya ditundukkan persis seperti seorang pembantu kepada majikan.

"Buatkan saya dan Kavin sarapan hari ini, Bi asih sedang pulang kampung"Sahut ayahnya cepat tanpa mengalihkan pandangannya dari koran.

"baiklah ayah"ujar Gavin.

Seperti inilah sosok Gavin, menurut segala apa yang diperintahkan oleh ayahnya kepadanya. Salah satu devinisi berbakti bukan?. Namun, bagi ayahnya, Gavin tetaplah Gavin. Pembawa kesialan untuk keluarganya.

*****

Gavin dengan telaten menyampurkan semua bahan yang diperlukan untuk membuat masakan yang enak untuk sarapan ayah dan kakaknya, sesekali mencicipi lalu menuangkan bumbu pelengkap untuk masakannya. Hanya sebuah nasi goreng, tapi percayalah terdapat cinta didalamnya.

Gavin menatap bangga masakan yang telah dibuatnya, ia lalu membawa nasi goreng tersebut ke meja makan yang sudah terdapat ayah dan Kavin, entah kapan mereka datang, yang pasti Gavin telah siap dengan masakannya.

"Buat apa itu?"tanya sang kepala keluarga saat Gavin mengambil tiga piring dari arah dapur.

"Ini buat ayah, ini buat bang Kavin, dan ini buat aku"sahut Gavin sembari meletakkan satu persatu piring di hadapan ayahnya dan Kavin.

"Kau tidak ada jatah makan pagi ini, sekarang pergi?!"ucap ayahnya cepat.

"tapi yah, Gavin belum makan dari kemarin, lagi pula Gavin masak banyak kok yah"jawab Gavin.

Brakkkk

"masih berani membantah kamu Gavinio?!!"bentak ayahnya.

"Maaafin Gavin yah, Kalo gitu Gavin pergi dulu, Assalamualaikum"sahut Gavin. Ia menunduk takut lalu memenuhi perintah ayahnya. Tak lupa Gavin menyalami ayah dan kakaknya itu walau tercetak raut wajah jengah dari keduanya.

***

Gavin menutup pintu rumahnya kemudian menghela nafas. Akan jadi hari yang melelahkan pikirnya. Gavin lantas berjalan menjauhi rumah, sepanjang jalan Gavin melamun sampai suara klakson motor membuyarkan lamunanya.

GAVINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang