Sepuluh

7.4K 585 36
                                    

Gavin melangkahkan kakinya menuju bangunan tempat ia tinggal. Dalam hati Gavin merasa waspada, takut jika dia ketahuan tidak ada dirumah oleh ayahnya, namun tidak apa, Gavin terbiasa dengan hal itu.

Gavin menghela nafas sebelum ia meraih knop pintu dan membukanya, pemandangan pertama yang ia lihat adalah kehadiaran ayahnya yang sedang duduk diam sembari menatap lurus ke arah pintu masuk. Gavin sangat tau arti tatapan itu, tatapan yang membuat siapa saja takut. Gavin mengakui itu.

"assalamualaikum"ucap Gavin saat ia membuka pintu.

"waalaikumsalam, dri mana saja kamu?"tanya Mahardika, Gavin tersentak kaget. Ia lalu meremas kedua tangannya cemas. Tidak lupa, Gavin juga menunduk.

"saya bilang sekali lagi, dari mana saja kamu Gavin!!!!"Seru Mahardika.

"ehm, anu pah.. Dari.. rumah sakit"ucap Gavin lirih tanpa melihat Mahardika.

"ck.. Dari Rumah sakit kamu bilang?!! Ngapain hah?!! Mau cari perhatian dari saya iya?!!!, asal kamu tau Gavin. Sekarang anak saya Kavin. Sekarat dirumah sakit!!!"Maki Mahardika.

Gavin mendongak tak percaya. Padahal baru tadi malam ia bisa merasakan pelukan hangat dari kakaknya, Kavin. Namun pagi ini, Gavin merasakan paru parunya lebih sakit dari yang biasanya. Jantungnya berdegup dua kali lebih kencang akibat kata demi kata yang diucapkan Mahardika.

"Papah.. Bohong kan?"tanya Gavin takut takut.

"Untuk apa saya berbohong dengan anak pembawa sial sepertimu Gavin?!!, tak ada gunanya"sinis Mahardika yang membuat hati Gavin berdenyut nyeri. Gavin memejamkan matanya ketika kalimat itu menusuk hatinya dan membuat luka baru. Padahal luka kemarin masih sama sakitnya.

"Sekarang lebih baik kamu ikut saya". Ucap Mahardika sambil menggenggam tangan Gavin lalu menariknya keluar rumah. Gavin yang tak siap menerima perlakuan itupun tersentak kaget. Beruntung tubuhnya bisa mengimbangi langkah demi langkah milik ayahnya itu. Walaupun, Gavin tak memungkiri fakta bahwa kepalanya berdenyut sakit akibat gerakan tiba-tiba yang diciptakan oleh ayahnya.

"Shh.. Kita mau kemana pah?"tanya Gavin lirih.

"ke rumah sakit, Kavin perlu darah kamu. Dia kekurangan darah"jawab Mahardika.

"t-tapi pah.. "

" Sudah Gavin, Ga ada tapi tapian, Kamu harus ikut saya sekarang!!"kata Mahardika dingin. Kalau sudah seperti ini, Gavin tidak bisa membantah perkataan Ayahnya. Namun dalam hati ia terus merapalkan doa agar kondisinya bisa memungkinkan ia mendonorkan darahnya untuk Kavin.

Gavin hanya diam ketika ayahnya melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Gavin memejamkan matanya, mencoba menyingkirkan rasa pusingnya walaupun tak kunjung mereda. Ia menatap ke jendela, lalu  menyadari gerimis kecil yang akan menumpahkan hujan. Gavin tersenyum, sepertinya langit sedang merasakan apa yang ia rasakan.

Gavin menoleh, menatap sang ayah dengan tatapan sendunya. Disana, dikursi kemudi, Ayahnya sedang menatap kosong jalanan. Seperti kehilangan jiwanya. Gavin menghela nafas, ia tau apa yang ada dipikiran ayahnya saat ini.

"ehmm pah.. "

"hm?"

"kalau dulu, Gavin ga nyuruh kalian untuk dateng ke acara Gavin dan mamah sama kakak masih hidup, apa Papah juga masih sayang Gavin kaya dulu?"kata Gavin lirih.

"mungkin"

"kalo seandainya Gavin juga ikut pergi ke tempat mamah sama kakak, apa ayah sama Kavin bahagia?"tanya Gavin lagi.

Seperti sebilah pisau tak kasat yang menghunus dada seorang Mahardika akibat perkataan Gavin. Ia memilih bungkam dan memfokuskan dirinya kejalanan didepannya tanpa menoleh ke arah Gavin.

GAVINWo Geschichten leben. Entdecke jetzt