Sembilan Belas

9K 649 120
                                    

Langkah tagap Gavin berjalan menuju bangunan yang beberapa hari ini Gavin tinggalkan. Gavin tersenyum karena ia bersyukur Tuhan masih memberinya kesempatan untuk melangkahkan kaki dirumahnya ini lagi.

Setitik harapan muncul pada diri Gavin, setelah ia beberapa hari koma dirumah sakit dan menjalani berbagai pengobatan yang menurutnya sangat menyakitkan itu akhirnya tubuhnya beristirahat untuk sementara waktu. Gavin membawa tas ransel hitam berisi pakaian-pakaiannya selama dirumah sakit kemarin.

Ceklekk

"saya kira kamu sudah mati"

Jleb

Tubuh Gavin mematung setelah mendengar lima kata yang terucap dari mulut sang ayah. Gavin tersenyum getir, harusnya dia tidak berharap banyak dirumah ini.

"p-pah, Gavin--"

Tanpa menunggu kalimat yang terucap dari mulut Gavin. Mahardika meninggalkan ruang tamu dan berjalan menuju ruang kerjanya yang terdapat di lantai dua. Gavin meringis, baru menginjakan kaki di rumah ini lagi, Ayahnya memberikan Gavin luka yanh bahkan luka sebelumnya masih basah.

Gavin menatap sekeliling rumahnya dengan pandangan nanar. Rumah yang dulu adalah surganya kini menjadi nerakanya. Rumah yang dulu dipenuhi kasih sayang untuknya, kini hanya berisikan kebencian untuk Gavin.

"Den Gavin"

Gavin terkesiap karena mendengar suara lembut itu. Gavin menoleh, mendapati bi inah yang sedang tersenyum tulus ke arahnya. Senyum yang selama ini menjadi obat lelah Gavin.

"iya bi?"

"sini bibi bawain tasnya, pasti tasnya berat kan?"tawar bi inah.

Gavin menggeleng, rasanya ia tak enak hati jika membiarkan tasnya dibawakan oleh bi inah. "ga usah bi, Ini berat, bibi ga akan kuat, biar Gavin saja"canda Gavin.

"Den Gavin ini kaya sama siapa aja, yaudah, Den Gavin istirahat gih dikamar, nanti bibi bawain makan malam buat den Gavin. Gavin mengangguk, mengiyakan.

Gavin berjalan menuju lantai dua dengan tertunduk, salah apa Gavin sampai ia mendapat kebencian sebesar ini. Gavin tidak mengerti alur yang diberikan Tuhan untuknya, tapi Gavin tau, ia akan bahagia pada akhirnya.

Sampai dikamarnya, Gavin melemparkan tasnya kesembarang arah. Ia lalu membaringkan tubuhnya di ranjang. Menatap langit langit kamar dengan kosong. Apakah koma-nya kemarin tidak berarti bagi kakak dan juga Ayahnya? Gavin tidak tahu.

Gavin memegang dadanya, rasanya memang sudah dekat saatnya Gavin menemui bunda dan juga kakak perempuannya di surga. Gavin bangun ia melangkah menuju balkon kamarnya untuk menatap langit. Karena bagi Gavin, menatap langit sama saja mengobati rindu yang tak terbalaskan dihatinya.

"Bunda, kakak, Gavin ga kuat bunda"ucap Gavin. Ia mendongak menatap langit yang malam hari ini mendung, tanpa ada bintang. Seakan bunda dan kakaknya ikut membenci Gavin.

"apa yang dikatakan papah bener bun, kak? Kalau seharusnya Gavin mati kemarin--"Gavin mengusap air matanya yang menetes tiba-tiba.

"Gavin cape bunda, Gav-in butuh bundaa"ucap Gavin. Sekarang ia menangis, sendiri seperti biasa, tanpa ada yang mengusap punggungnya dan menenangkannya.

***

Kavin terbangun dari tidurnya ketika mimpi buruk mengusik tidur nyenyaknya. Keringat mengucur dari dahinya, nafas Kavin pun terengah-engah. Entah mimpi apa yang Kavin alami malam ini.

Gavin memutuskan beranjak dari tempat tidurnya lalu menuju balkon kecil kamarnya yang terdapat sebuah sofa kecil. Kavin duduk lalu memijat pangkal hidungnya pelan. Entah akhir akhir ini, sepertinya tubuhnya semakin ringkih.

GAVINWhere stories live. Discover now