-Prolog-

32 6 6
                                    

"Curah hujan membutuhkan matahari agar ia tak menggenangi bumi."


PROLOG

Kereta api express melaju cepat dari arah barat, masinis itu harus mengejar jadwal pemberangkatan penumpang di stasiun A. Sesekali ia melihat luar dari jendela kereta, hujan makin lebat  dan titik-titik air itu menutupi kaca depan. Ia makin khawatir, karena jalan rel makin samar-samar dilihat.

Alat bantu pembersih kaca rusak, sementara hujan terus mengguyur jendela kereta. Kereta itu memiliki
8 gerbong yang menampungnya ± 900 orang penumpang.

Sebentar lagi kereta akan bertemu dua jalur rel. Terpaksa ia membuka kaca jendela samping untuk memastikan jalur yang ia tuju. Kecepatan kereta itu amat tinggi. Masinis itu buru-buru menutup jendela itu karena sudah di jalur
rel yang benar.

Setelah beberapa menit, curah hujan mereda. Kaca kemudi sudah mulai menampakkan jalan rel.

Masinis itu melanjutkan pemantauan perjalanan. Tiba-tiba matanya silau oleh cahaya didepannya. Cahaya lampu itu makin terlihat. Betapa shock si masinis, ketika kereta yang ia kemudikan sejalur dengan kereta lain.

Hingga....

Kedua kereta saling berhadapan itu, bertabrakan. Suara teriakan dari para penumpang terdengar. Kereta yang dikendarai masinis dengan kecepatan tinggi itu terpelanting keluar rel. Badan kereta bertubrukan saling lepas dari pengaitnya.

Kereta yang ditumpangi masinis itu terguling-guling lalu terperosok ke jurang. Entah bagaimana nasib penumpang yang berjumlah amat banyak disana.

***

Keesokan paginya, seorang wanita tertatih-tatih menuju kerumunan. Disitu ia celingak-celinguk melihat petugas yang mengevakuasi korban kecelakaan. Setelah bertemu dengan satu petugas, barulah wanita itu menghampiri.

"Pak, dimana suami saya? Dia seorang masinis. Dia selamat kan?" Wanita itu bertanya secara terburu-buru.

Petugas itu terdiam, hanya tatapan sendu yang didapatkan wanita itu.

"Pak! Jawab! Masinisnya selamat kan, pak?" Wanita itu memaksa petugas agar bisa menjawab keadaan sang suami saat ini.

Disampingnya, beberapa petugas membawa korban untuk dievakuasi. Wanita itu langsung menghampiri mereka dengan tatapan penuh harapan. Petugas yang ia tanyakan tadi ikut menyusul.

"Pak bagaimana kondisi masinis?
Dia selamat kan?"

Petugas-petugas itu saling menatap. Akhirnya mereka menurunkan korban yang  dikemas oleh terpal. Petugas itu membuka resleting pengemas.

Wanita itu tersentak, melihat wajah sang suami sudah pucat. Wajah masinis itu dinodai oleh darah kering yang tercampur dengan tanah. Ada pula bekas memar di dahi akibat benturan keras saat gerbong itu terperosok.

"Suami ibu sudah meninggal dunia, setelah kami menemukannya di jurang," jawab petugas itu.

Wanita hanya membeku ditempat,
ia tidak nangis bahkan mengeluarkan air mata sedikitpun. Namun ia terengah saat dadanya mulai sesak. Wanita itu memilih duduk disamping sang suami yang terbujur kaku.

"Beri saya waktu sebelum pengevakuasian." Wanita itu meminta waktu.

Para petugas itu mengangguk setuju lalu mereka membubarkan diri sementara agar wanita itu sendiri bersama jasad suaminya.

"Padahal saat kamu pulang ke rumah, aku mau memberi kejutan." Wanita itu menunduk lalu menatap ke arah perut.

"Aku udah berpikir, dia akan memiliki dua orang tua. Tenyata kamu ninggalin aku sendiri dan
anak ini." Suara wanita itu mulai bergetar.

"Kenapa kamu tinggalkan harapanmu sendiri?"

"Adik." Sang kakak menghampiri wanita itu dan memeluk adiknya. Ia memberi ketegaran dengan mengusap punggung sang adik. "Sudahlah adik jangan memendam kesedihanmu. Aku tahu kamu ingin menangis,"

"Nggak kak! Aku tahu ini cuma mimpi!" Wanita itu bersikeras tak mau menerima kenyataan. Ia mulai mencubit wajah sendiri. Lalu
satu pukulan ke arah kepala yang membuat kakaknya ini terkejut, geram

"Kamu sudah kehilangan akal!" Sang kakak menepis tangan wanita itu yang mencubiti wajah sendiri.

"Ini cuma mimpi kak!" Wanita tersebut berusaha menarik tangannya dari pegangan sang kakak.

"Jangan menyakiti dirimu sendiri!"
Sang kakak bersikeras menahan tangan wanita itu yang memberontak. Bahkan wanita itu menghentakkan kaki layaknya anak kecil.

Petugas itu menghampiri mereka, "Maaf, bu sekarang sudah waktunya pengevakuasian."

"Pak tolong bantu saya," ujar sang kakak yang sudah kewalahan menenangkan adiknya.

Wanita itu enggan segera berdiri. Sikap keras kepala ingin lama duduk disamping mendiang suami.

Memilih ngalah, sang kakak dan petugas itu membiarkannya. Sampai mereka lihat wanita itu memberi pelukan terakhir kepada almarhum suaminya.

Sang kakak berjongkok kembali lalu memeluk adiknya. Justru sang kakak yang meneteskan air mata melihat nasib kedua pasutri ini. "Ayo adik. Jangan dibiarkan lama suamimu itu atau dia tak akan tenang melihatmu seperti ini."

***

Panggilan terhubung.

"Halo sayang, ada apa?"

"Kamu pulang cepat hari ini?"

"Saya usahakan. Ada apa? Suaramu terdengar senang,"

"Aku akan kasih tau kalau kamu pulang nanti,"

"Jangan main rahasia, selama ini kita saling terbuka,"

"Ini suprise! Dijamin kamu akan bahagia mendengarnya nanti!"

"Oke, untungnya sisa dua jam lagi."

"Wahh semangat ya! Aku tunggu di rumah, dadah!"

"Terimakasih sayangku."

Itulah telponan terakhir mereka.

Wanita itu seorang diri di dalam kamar, ia sudah memakai pakaian serba hitam. Matanya sembab, tangannya erat memeluk foto pernikahan. Dihadapannya ada seragam kerja mendiang suaminya yang menggantung dibelakang pintu kamar. Buru-buru ia berjalan ke arah pintu.

Isak tangis memilukan saat wanita itu mengirup aroma parfum khas mendiang suami pada seragam.

"Aku tak tahan menghirup parfum ini. Wanginya membuatku sakit," isaknya sembari mengingat wajah orang yang menjadi teman hidupnya.

"Pekerjaan itu telah menjemput kematian suamiku." Tangisnya semakin pecah.

Tatapannya beralih ke arah perutnya kembali, "Anakku, sekarang hanya kamu harapanku. Tetaplah hidup. Jadilah pengganti teman hidupku, sayang." Wanita itu tersenyum kecil, semangat hidupnya muncul kembali.

Ia percaya. Kelak jiwa suaminya akan ada pada diri sang anak, sampai kapanpun.

Abang Mantan!Onde histórias criam vida. Descubra agora