28. Cincin

2 1 0
                                    

Inke tersentak, yang tadinya menunduk sekarang mendongak ke arah Handika. Citra pun menutup mulut, Windi menatap mereka hangat dan tersenyum kecil.

"Ada apa?" tanya Inke dengan tegas.

Handika menatapnya hangat, "Kamu tidak mendengar apa yang dikatakan wanita tadi?"

"Inkee," celetuk Citra sangat terkejut.

Suara Citra cukup terdengar di tengah kebisingan. Akhirnya semua tamu undangan menatap ke arah barisan ini, termasuk Agha. Berlin bisa melihat betapa terkejutnya pria itu. Lagi-lagi keduanya saling menatap bingung, Berlin pun mengalihkan pandangan ke bundanya.

"Apa?" tanya Inke terus mempertahankan alasan Handika.

"Jawab pertanyaan saya barusan,"

Inke sebetulnya tahu, namun wanita itu masih menimang-nimang keputusan dadakan sebesar ini, "Apa anda yakin dengan itu?"

"Saya yakin dengan itu," jawan Handika tanpa ragu.

"Kau tau ini adalah acara sakral?"

"Ya, ini pilihan saya," jawab Handika.

Inke tak henti melihat gelagat Handika, tidak ada satupun yang mengganjal di pengawasannya. Inke mengangguk pelan, "Baiklah,"

"Tapi bunda—" sahut Berlin, gadis itu betul-betul mengerti dengan dialog diantara keduanya.

"Kalian berdua adalah keyakinan saya," jawab Handika beralih menatap hangat Berlin.

Tatapan Berlin pun mencari keberadaan Agha, ternyata pria itu di posisi yang sama. Kini Berlin bisa bertukar tatapan lagi dengan Agha.

Pada penglihatan Agha, Berlin mengisyaratkan kebingungan. Agha mengangguk tegas, Berlin dilema kebingungan.

Berlin menatap Inke dan Handika. Sebagai anak, Berlin harus mengisi kecanggungan diantara Inke dan pria itu, "A-aku mempersilahkan bunda."

Handika berjalan kembali melewati barisan. Inke bangkit dari duduknya, terlebih melihat sang kaka.

"Kak, saat ini titip Berlin,"

"Baiklah, jangan pernah ragu tentang ini, adikku." Inke paham setelah mendengar kata-kata yang memiliki makna tersembunyi dari Citra.

Inke berjalan melewati barisan duduknya. Jalannya selalu didampingi oleh Handika, lagi-lagi pria itu menatapnya tenang dan hangat.

Agha menyaksikan bagaimana raut wajah ayahnya yang berbeda. Kali ini membuatnya lebih terkendali. Agha bisa duduk, menyandarkan punggungnya kembali. Dari pihak keluarga dan kerabat pun tidak keberatan, kali ini Handika bebas melakukan apapun asal acara itu tidak terlalu kacau.

Inke duduk menghadap penghulu dan Handika duduk disebelahnya.

Terlebih dahulu, Handika menatapnya lalu bertanya, "Siapa nama lengkap mu dan nama ayahmu?"

Inke menyebutkan apa yang pria itu tanya. Akhirnya wanita itu bisa melihat sendiri bagaimana sosok pria ini menyebut nama dan ayahnya kepada penghulu.

Akhirnya dengan satu jabat tangan, kalimat-kalimat yang diucapkan ulang dari penghulu kepada Handika sampai dimana semua orang berucap 'sah' mengisi keheningan yang sempat menakutkan.

Inke mulai sadar, akhirnya wanita itu bisa melewati keterpurukan dari kesendiriannya. Kini, beliau telah dipilih kembali untuk melanjutkan kehidupannya yang tampak hidup.

***

Berlin masih menatap Agha yang menyantap makanan dihadapannya. Agha merasakan dirinya diperhatikan. Pria itu mengambil sendok lalu menyodorkannya ke Berlin.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Abang Mantan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang