13. Nasehat bibi

3 3 0
                                    

Keduanya sudah berbaikan. Mereka melepas pelukan itu. Berlin menatapnya, "Bunda ingat, hari ulangtahun ayah tiga hari lagi?"

"Kelupaan, sayang!" Inke lupa.
Wanita itu bangkit dari duduknya, memberi uluran tangan. "Ayo bicarakan ini dengan teman-teman kamu,"

"Kalau mereka bertanya tentang hadiah, cukup bawa bunga." Inke memberitahu jawaban, jika ada pertanyaan mengenai hadiah.

Berlin tersenyum, ia menggenggam tangan bundanya. Secara bergandengan mereka berjalan
pergi.

Mereka semua ada di ruang tamu mendadak diam, bertanya-tanya dalam hati tentang permasalahan sebelumnya.

"Kalian sudah baikan?" Ayah Agha bertanya dan menyudahi perbincangan dengan Citra serta teman-teman Berlin.

Keduanya tertawa canggung. Inke tersenyum padanya. Inke memohon maaf, "Maaf ya karena saya sudah membeberkan masalah ke sini,"

"Itu hal yang wajar." Ayah Agha memakluminya. "Kami disini
sebagai mediasi."

***

Sampai sore di rumah Agha. Akhirnya mereka memutuskan pulang, tapi sebelum itu teman-teman membicarakan tentang ulang tahun ayah Berlin.

Tessa bertepuk tangan senang,
"Cepat banget ya waktunya? Gue kasih hadiah apa ya bokap lo."

"Kata bunda gue cukup bawa bunga," jawab Berlin.

"Bebas?" Geneva bertanya. Ia sedang memakai sepatu, bersebelahan dengan Erif.

"Iya, jangan sampai lupa!" Mereka mengiyakan saja ucapan Berlin.

Di halam rumah Citra menunggu mereka. Inke menghampirinya, lalu Citra bertanya, "Kamu mau pulang atau ke rumah sakit?"

"Pulang saja, aku lumayan lelah." Inke menjawab

"Apa kamu sudah memaafkan Berlin?" Citra kembali memastikan.

"Iya kak, kenapa bertanya?" Inke
agak tersinggung.

"Setidaknya kamu jangan berkata lelah hanya menyusul anakmu." Ucapan Citra membuatnya termenung.

Citra memegang sebelah pundak
Inke, "Berlin anak penurut. Wajar, kalau sampai berani membantah larangan tidak ada alasannya."

"Jangan merasa sia-sia kamu datang kesini," ucap Citra.

***

Keesokan hari, saudara Berlin yaitu Veron sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Keluarga kecil ini sibuk merapikan barang bawaannya.

"Veron, besok jangan masuk sekolah dulu," ucap Citra mendadak.

Veron berhenti melipat bajunya, "Ih, ibu. Mau masuk sekolah! Veron nggak secemen itu,"

"Ibu mau bikin kamu kapok, biar nggak berulah lagi!" Citra cemas dan kesal menerima kekonyolan anaknya yang hampir merenggut nyawa.

"Biarlah, bu. Bagus kalau anak kita ingin masuk sekolah," ujar suami Citra memberi keringanan untuk Veron.

Veron senang telah mendapat izin darinya, "Ayah ngizinin tuh, masa ibu nggak sehati sama ayah?"

Citra memicingkan mata ke Veron, "Berjanji tidak konyol atau ibu kutuk jadi batu!"

"Astaghfirullah ibu! Veron bukan si maling," kaget Veron.

"Malin, Ron. Malin!" Ayahnya alias suami Citra ikut gregetan pada anaknya. Citra menghampiri Veron dengan wajah masam.

"Ayah lihat sendiri? Ini akibat dia sering membolos jam pelajaran!" Citra menjewer Veron.

Veron meringis dan memohon-mohon, "Aduh, aduh ibu jangan jewer Veron! Kuping Veron bukan kue cubit!"

Abang Mantan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang