22. Melengkapi kerapuhan.

5 3 0
                                    

"Iya sih."

Agha terpaku. Berlin tersenyum kecil setelah menatap mata Agha, "Omongan gue salah?"

"Gak," jawab Agha.

Berlin menghela napas, wajahnya terlihat sumringah. Gadis itu menutup buku tulisnya, "Lupakan,"

Agha masih mematung, tatapan dinginnya menjadi tatapan prihatin untuk Berlin.

Berlin bangkit dari kursi dan menggeser posisi, keluar dari himpitan kursi dan meja. Berlin berdiri disampingnya, gadis itu menghadap Agha.

Lagi-lagi, Agha tertegun melihat gadis itu berdiri menghadapnya. Berlin tersenyum, "Kita sama sama pingin diaku, Gha. Bedanya lo pengen ada timbal balik dari gue, betul?"

"Nggak ada yang salah perkataan lo," jawab Agha.

***

Geneva hendak kembali ke kelas bersama Erif, mereka tak sengaja melihat Berlin bersama Agha. Kedua temannya itu asyik membawa buku pelajaran sambil tertawa-tawa. Mereka berada di kursi panjang di koridor kelas.

"Lho, Lin?" Mendengar sahutan Erif, kedua orang itu berhenti tertawa dan menengok.

"Lo bareng sama Agha?" Erif berkata lagi.

"Nggak bareng cuma nemenin," jawab Berlin beralih menatap Agha. Agha tersenyum kecil dengan sisa-sisa tertawaan.

"Idih cowok manja, pengen ditemenin segala." Erif menyindir Agha seperti kebiasaan tetangga julid.

Agha menatapnya usil, "Kelihatan barengannya ya?"

Erif bertukar tatapan bingung ke Geneva. Berlin menggeleng kepala, "Kemakan gosip, jadi heran lo kan?"

Erif tak terima, "Enak aja, gue masih punya kerjaan kali."

"Tapi lo gampang dipengaruhi ketimbang anak-anak kelas lain," ejek Berlin. Membuat perdebatan kecil antaranya dengan Erif, pria itu dengan jurus ocehan membuat keseruan sendiri.

Mendapat celah perhatian, Geneva mendekati Agha. Tatapannya merasa bersalah, "Maaf ya, Gha gua sempat mendahului lo,"

"Bro." Agha berbisik, hingga ucapannya hanya terdengar oleh Geneva, "Nyangkutnya pun di gua lagi,"

"Lo kira gue gantungan?" Berlin rupanya mendengar ucapannya.

"Gantungan separuh hati," gumam Agha. Berlin mengerut alis karena hanya melihat komat kamit Agha.

Lagi-lagi hanya Geneva yang dengar, entah rasa panas menjalari dadanya. Geneva hanya terkekeh pelan menyahuti ucapan Agha.

Lebih baik mengaku kalah daripada bertindak memicu penghancuran.

Lagipula siapapun diri ini, tak bisa menaklukkan siapapun yang ada di dalam hati seseorang.

***

"Lin," panggil Agha.

Berlin yang menghitung hasil penjumlahan dengan kalkulator, mendongak sembari mendecak, "Apaan?"

"Lo nggak marah sama gue?"

"Marah sih," jawab Berlin, masih sibuk menghitung. Sekarang ia menghitung manual dengan jemari.

"Kenapa marah?" Agha menempatkan kursi Tessa yang kosong, karena Tessa sudah keluar kelas dari tadi.

"Gue masih ada, tapi lo malah cari gue di orang lain," jawab Berlin, kesibukannya terhenti.

"Maaf, Lin. Gue nggak bermaksud selingkuh, tapi gue cuma berempati ke Luvi," jawab Agha, baru memberi penjelasan padanya.

Berlin tertawa renyah, "Lo benar nggak berpaling dari Luvi,"

"Gue lihat kerapuhan lo, tapi gue terjebak dengan balas budi ke Luvi," lirih Agha.

Abang Mantan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang