18. CUMA HTS?

5 3 0
                                    

Sehari setelah kejadian itu, Berlin selalu dijauhi Tessa. Bahkan sekedar menyapa pun Tessa tidak menggubrisnya.

Meski duduk bersama, Tessa tidak membuka obrolan seperti hari-hari sebelumnya. Sesampainya bel istirahat, Berlin buru-buru ke kantin untuk membelikan es kopi kesukaan Tessa.

Setelah es kopi telah dibeli, Berlin mencari-cari keberadaan Tessa. Setelah tahu Tessa berjalan berada didepannya ia memanggil, "Tessa!"

Langkah Tessa terhenti, barulah Berlin menghampirinya setengah berlari. Sesudahnya bersebelahan, Berlin menyodorkan es kopi itu pada Tessa, "Buat lo."

Tessa melirik cup berembun berisi es kopi. Tanpa meresponnya, ia membuang muka sambil menepis pemberiannya. Tessa melengos pergi.

Tidak mau diambang kesalahpahaman. Berlin melangkah cepat mencoba membujuk temannya, "Sa, gue salah apa? Sebegitu marahnya ya?

Tessa berhenti melangkah lalu menoleh. Empat mata saling menunjukkan emosional yang berbeda. Diujung tanduk kemarahannya Tessa mendorong kedua pundak Berlin sambil berkata, "Karena Faula mantan Zack!"

Berlin terkejut akan ketidakseimbangan dari dorongannya. Secara tegas Berlin mengentak kaki, memberi tolakan untuk jatuh.

Berlin memegang kedua pundak Tessa, kali ini ia benar-benar mendesaknya, "Terus? Apa hubungannya sama gue?"

Tessa sedikit terbelalak akan respon Berlin. Sudah lelah menghindar Tessa pun berkata, "Gue tau sekarang Faula pacar dari musuh Zack, dia saudara lo."

Berlin paham karena ia sudah menduga semua ini cepat terungkap. Gadis itu melepas pundak Tessa tanpa bicara maupun menatapnya lagi. Tessa tahu kebenaran itu dan mulai mengintrogasi, "Dia Veron, benar kan?"

"Lagipula itu urusan mereka bertiga. Ibaratnya gue hanya figuran." Berlin menggaruk kepala karena sempat bingung menjelaskannya.

"Menurut lo figuran tapi bagaimana pun dia tetap saudara lo, Lin!"

"Dan gue yakin pasti dibalik hubungan Faula dan Veron lo ikut mendukung kan?" Perkataan Tessa mempersempit ruang dialog Berlin.

Berlin mendecak frustasi, "Tapi jangan cepat menyimpulkan, Sa!"

"Tapi imbasnya ke gue." Tessa menunjuk ke arah Berlin.

Setelah menurunkan tangannya, Tessa cepat menanggapi, "Padahal gue cuma orang yang berinteraksi sama lo,"

"Give me time to talk!" Berlin menggebu-gebu menepuk belikatnya agar Tessa tahu kode keras itu.

"Ohh, atau gue cuma jadi penangkal sialnya orang lain?" Ideologi kuatnya membuat Berlin tidak habis pikir.

"Oh, lo memilih berpikir sejauh itu, Sa? Dibanding mendengar penjelasan gue," frustasi Berlin, dadanya terasa panas mendengarkan itu semua. Bahkan gadis itu mulai kewalahan karena amarahnya pun akan merebut sikap tenangnya.

"Kalau dari dulu gue nggak berteman sama lo. Pasti sepatu gue tetap aman dipakai," Dari semua kata-kata yang membuat Berlin tersinggung rupanya Tessa mengutamakan masalah tentang sepatunya.

"Persis lo seperti percikan api, Lin. Karena orang di dekat lo pasti ikut terbakar. Meski hanya berjarak semeter!"

Berlin tertawa, mencoba menatap Tessa meskipun mata memanas setelah mendengar semua ucapannya, "Gue paham lo pusing sama rumus fisika. Tapi nggak gitu jug-"

"Penjelasan apapun lo ga bisa gantiin kerugian gue, Lin." Mendengar itu seketika rangkaian penjelasan terhapus dari pikiran Berlin.

"Gue menyesal berteman sama lo, Berlin." Tessa melenggang pergi tanpa menggubris sahutan Berlin.

Abang Mantan!Onde histórias criam vida. Descubra agora