21. Sengaja ya?

6 3 0
                                    

Di hari Minggu, butuh kursi agar dapat menjangkau jarak dinding atas, keduanya mengantungi bingkai foto berukuran lebar. Masing-masing Inke dan Citra memegang sebelah sisi. Berlin hanya memerhatikan wajah ayah diabadikan pada ruang tamu. Inke memberi tangan. Berlin pun memberi bingkai fotonya bersama bundanya.

Ada Veron yang berdiri di sampingnya. Pria itu tetap mengawasi Berlin, takut setibanya terjadi sesuatu padanya.

Veron ikut memilih letak yang cocok untuk mengantungi bingkai foto. "Dikit ke kiri bagus tuh, bibi."

Inke menurutinya, "Berlin, apa sekarang kamu merasa senang bunda memasang foto Ayah?"

Berlin tersenyum kecil. Gadis itu duduk di sofa dan mengambil remote televisi di sebelahnya. Veron menengok, ia membiarkan saudarinya menonton televisi. Barulah Veron fokus membantu Inke dan Citra ketika menata barang antik. Mengisi kekosongan ruang tamu, apa pun barang ditata sehingga menambah kesan estetika.

***

Tidak ada lagi yang ditutupi oleh Inke. Malam hari, wanita itu menceritakan bagaimana awal bertemu dengan sang suami sampai menikah. Yang terakhir adalah kematian suaminya.

"Ayah kamu jadi masinis di kereta Meira. Alasan nama itu ada di nama lengkap mu. Bunda mengenangnya,"

"Menurutmu namanya bagus kan?"

"Bagus. Kecuali latar belakangnya," ujar Berlin meratapi kepergian Ayahnya dahulu.

Inke terdiam sejenak. Wanita itu menatapnya sumringah, "Latar belakang itu takdir nak,"

"Tidak ada seorangpun tahu tentang mana yang baik. Bunda menambahkan namanya di nama kamu agar membentuk kebahagiaan baru, yaitu kehadiran kamu disini." Inke memperinci alasannya Meira menjadi bagian nama lengkap putrinya.

Mendengar ucapan Bunda mata Berlin mulai sembab, gadis itu menyeka air mata yang hampir turun ke kelopak mata, "Bunda, aku terharu."

Berlin menunduk rasa bersalah, "Maaf aku sempat mencela nama yang bunda kasih,"

"Bunda lebih salah, kadang-kadang suka nggak menerima emosional mu. Padahal awalnya dari bunda sendiri,"

"Aku paham. Bunda, pasti ada alasan kuat baru menceritakan ini semua ke aku kan?"

"Betul, sekarang kamu tidur ya? Besok hari Senin. Mulailah hari seperti sebelumnya."

***

Berlin membuka jendela kamarnya. Mendorong kursi dan duduk menghadap jendela, tatapan sendu melihat langit biru gelap. Tak dapat dipungkiri kekecewaan, betapa terkejutnya gadis itu tahu keberadaan ayahnya. Pantas saja di tidurnya yang lelap selalu mendapat bisikan, Kalau ingin mencari ku, kamu bisa lihat langit di dunia ini.

Sesak mencegat pernapasan masuk, menghirup udara bebas malah membuatnya gemetaran. Mata yang biasa membulat melihat objek yang ia suka, kini menjadi duka. Bulan sabit memantul wujud pada pupilnya.

Termenung hingga mendatangkan rasa kantuknya. Berlin kembali menutup jendela kamarnya, mengembalikan kursi ke tempat semula. Gadis itu membaringkan diri di kasur dengan satu tarikan selimut.

Beberapa saat, dengkurannya terdengar mengisi kesunyian dalam kamar.

***

Silih waktu berganti, bulan purnama telah berporos pindah. Menjelang matahari akan menjemput pagi.

Pukul 04.30. Berlin bangun lebih awal, ia memegang segelas cangkir teh hangat. Baru saja selesai mandi, rambutnya sehabis keramas ini dibiarkan kering secara alami. Gadis itu sudah lengkap mengenakan seragam sekolah.

Abang Mantan!Donde viven las historias. Descúbrelo ahora