27. Kecantol

2 1 0
                                    

Seorang gadis tertatih-tatih berjalan di halaman rumah lalu mengetuk-ngetuk pintu tanpa jeda. Mendengar langkah kaki dari dalam rumah, ia menurunkan tangannya sembari selangkah mundur dari pintu.

"Si eneng? Ada apa sampai jauh-jauh ke rumah saya?"

"Bu, to-tolong saya,"

"Kenapa, neng?"

"Bapak, bu. Pergi sama putranya tanpa memberitahu saya,"

"Bagaimana bisa?"

"Kemarin malam saya pergi ke kamar lebih awal, karena pekerjaan rumah udah kelar. Saya ketiduran, bangun-bangun ngecek rumah bapak nggak ada orang sama sekali." Asisten Agha menjelaskan kepergian majikannya begitu saja.

"Saya coba kirim pesan dan telepon mereka secara bergantian, tapi dua-duanya tidak aktif sampai sekarang," ujar asisten Agha.

Inke menangkap omongan Berlin semalam. Terngiang-ngiang mengungkapkan hubungannya sama hilangnya kabar mereka.

"Tadi Agha mendadak telepon aku. Dia bertanya,"

"Apa?"

"Pilihanku. Antara kota Depok dan kota Bandung. Lalu aku menjawab Bandung, tiba-tiba dia langsung bicara ingin mengakhiri telepon," Berlin was-was.

"Jika mereka pergi ke Bandung?"

Gadis itu terbelalak, degup jantungnya semakin cepat. Pikirannya kalang kabut antara optimis dan putus asa, ia mencoba menatap Inke meski sering berkedip, "Bapak akan keterikatan, dengan orang yang beliau hindari."

Inke menatapnya kosong. Wanita itupun tak tahu solusi terbaik untuk permasalahan yang bukan haknya untuk campur tangan.

"Saya mohon Bu, tolong bantu majikan saya. Saya cuma perantauan, tidak berdaya untuk masalah ini. Dan disini hanya ibu yang saya kenal,"

Asisten Agha menutup wajahnya dengan dua telapak tangan. Dengusan terdengar isak, kedua pundaknya gemetaran akibat ketakutan, "Kalau itu terjadi, serangan jantungnya bisa kumat lagi,"

"Kita tunggu sampai besok, kamu bisa menginap di sini dulu." Inke selangkah mengambil keputusan kecil.

Gadis itu hanya menurunkan tangannya, kedua matanya berkaca-kaca memandang Inke. Wanita itu melanjutkan alasannya agar ia tetap disini, "Tidak baik seorang gadis di rumah sendirian."

Mendengar perkataan Inke, setengah dari rasa tegang gadis itu pun menghilang.

Inke bertanya lagi, "Oh ya, saya belum bertanya. Siapa namamu?"

"Windi bu, kalau ibu?"

"Inke."

Berlin menenteng sepatunya, kepalanya sedikit mendongak untuk melihat sebagian di dalam rumah, "Bunda, Berlin pulang!"

Setelah menaruh sepatunya, ia masuk perlahan karena melihat ada tamu dalam rumah.

"Mbak Windi kok bisa ada disini?"

"Hai Lina, tumben lama pulang sekolahnya,"

"Iya, Mbak soalnya aku baru tuntas tugas prakteknya," ujar Berlin, mencuri-curi pandang melihat sekitar. Dari raut wajah Berlin sibuk mencari-cari orang selain mereka.

Windi tertunduk pasrah, "Dia entah menghilang kemana. Mbak ceroboh tidak tengok rumah mereka,"

"Mbak, jangan ngomong gitu. Mungkin mereka ada urusan penting,"

"Berlin, cepat kamu bawa Windi ke kamar mu. Biar dia istirahat di sini, sampai ada kabar dari mereka."

Berlin pun mengajak Windi untuk pergi ke kamar. Beberapa langkah pun terdengar, keduanya menaiki tangga. Inke masih memandang mereka sampai benar-benar masuk ke dalam kamar.

Abang Mantan!Where stories live. Discover now