02. ㅣTiada Yang Abadi

1.3K 204 11
                                    

Sudewi melihat para prajurit itu dengan tatapan kagum, begitu juga dengan Abimana. Laki-laki itu sudah menduga, bahwa Sudewi akan terperangah melihatnya.

"Dewi," Abimana memanggil, membuat gadis yang duduk di sampingnya itu menoleh.

"Ya?" tanya Sudewi sambil memperhatikan Abimana.

"Mungkin aku tidak bisa menjadi seorang raja ataupun bangsawan, tetapi aku bisa menjadi prajurit seperti mereka," ungkap Abimana dengan raut meyakinkan seraya menunjuk para Prajurit Bhayangkara yang tengah berlatih menggunakan pedangnya masing-masing.

"Itu tidak mungkin, Abimana. Menjadi prajurit Bhayangkara 'kan tidak mudah. Mereka harus tangguh dan menjalani seleksi yang ketat. Tenaga seorang Prajurit Bhayangkara saja sama dengan empat puluh prajurit biasa."

Sudewi menatap tubuh Abimana dengan remeh. "Dengan badan seperti ini, kau tidak bisa menjadi Prajurit Bhayangkara, Abimana."

Abimana mendelik tak suka. "Bagaimana jika aku bisa? Kau harus menciumku."

Langsung saja lengan laki-laki dengan kulit sedikit sawo matang itu mendapat pukulan dari Sudewi. Gadis dengan rambut hitam lurus sepanjang siku yang digerai tersebut tidak suka membicarakan hal-hal yang berbau dewasa. Lagi pula, dirinya juga tidak akan mudah memberikan ciuman kepada seorang laki-laki, termasuk sahabatnya sendiri.

"Aku bercanda," kata Abimana yang diakhiri dengan tawa kecil. Dia lagi-lagi membuat Sudewi marah.

Saat matahari telah berada di ujung barat, Abimana dan Sudewi beranjak dari bawah Pohon Bramasthama yang menjadi tempat mereka duduk tadi. Berniat untuk kembali ke dalam keraton.

Tepat saat mereka hendak masuk melewati gapura keraton, kedua orang tua Sudewi beserta kakaknya yaitu Indudewi muncul dari arah barat.

"Kalian dari mana saja?" tanya Kudamerta- ayah Sudewi- saat melihat putrinya datang dari arah utara bersama Abimana, anak salah satu kusirnya. Ia sama sekali tidak terkejut tatkala melihat Sudewi dan Abimana selalu pergi bersama, lantaran ia tahu, dua remaja itu telah menjalin persahabatan sejak lama.

"Kami baru saja melihat pasukan Bhayangkara latihan, Ayahanda," balas Sudewi dengan sopan.

Mengangguk mengerti, Kudamerta mengajak mereka untuk pulang.

Keluarga kecil itu melanjutkan langkah menuju gapura keraton depan, melewati Purawaktra. Mereka segera menaiki kereta pedati yang dikusiri oleh Admajaya, ayah dari Abimana. Beberapa prajurit pun siap mendampingi perjalanan pulang ke Daha menggunakan kuda.

***

Setelah belajar seharian di Balai Witana, Hayam Wuruk kembali ke istana. Dia hendak menemui Gayatri, neneknya.

Seperti biasa, wanita hebat yang telah lanjut usia itu tengah duduk bersandarkan kepala tempat tidur. Tubuhnya terlihat rapuh. Kondisinya yang sering sakit-sakitan memaksa dia untuk selalu berada di dalam kamar.

Dengan langkah pelan, Hayam Wuruk mendekati neneknya. Laki-laki dengan pakaian khas orang kerajaan tersebut duduk di tepi kasur. "Nenekanda tidur?" tanyanya.

Kedua mata wanita tua yang tadinya terpejam kini terbuka ketika mendengar suara sang cucu. Wanita itu tersenyum, membuat gurat keriput di sekitar mata dan pipinya muncul. Mendapati cucu kesayangannya mendatangi kamar ini membuat hatinya cukup bahagia.

PadukasoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang