08. ㅣKawan Lama

587 134 11
                                    

"Jadilah istriku."

Sudewi tertegun mendengarnya. Kenapa Abimana berkata seperti itu?

"Maksud-"

"Aku bercanda," ucap Abimana sambil terkekeh. Ia meluruskan kaki dan meletakkan tangannya sedikit ke belakang sehingga dirinya dapat melihat langit sore. "Mana mungkin aku mau denganmu."

Raut serius Sudewi kini burabah menjadi kesal. Ia sama sekali tidak menyukai candaan laki-laki di sampingnya. Namun, ia juga merasa lega karena ucapan Abimana tadi hanya candaan saja.

"Ngomong-ngomong, kenapa kau tidak mau denganku?" tanya Sudewi.

Kau terlalu sempurna.

"Kau selalu membuatku susah."

Sudewi menatap Abimana tajam. Apa katanya? Membuatnya susah? Tidak mungkin. Ia tidak merasa dirinya membuat Abimana susah.

"Kapan aku membuatmu susah?" tanya Sudewi dengan nada kesal.

"Banyak, tidak mungkin kusebutkan satu per satu."

Sudewi mendengus. Ia tidak berniat mmbantah lagi. Yah, mungkin Abimana benar, dirinya selalu menyusahkan. Namun, tak lama kemudian, bibirnya kembali berucap.

"Apa rambut panjangmu tidak mengganggu?" tanyanya sambil memandangi rambut Abimana yang dicepol ke atas.

Abimana yang tersadar jika Sudewi bertanya pun menoleh.

"Tidak," balasnya.

Sudewi merasa tak setuju. Bagaimana jika cepolan rambut laki-laki itu terlepas saat bertarung? Pasti akan mengganggu.

Ia menjulurkan tangannya. "Kau membawa pisau?" tanyanya. Ia yakin, Abimana selalu membawa benda tajam itu.

Abimana memgangguk.

"Berikan kepadaku," ujar Sudewi sambil menggerak-gerakkan jemarinya. Dirinya sudah tidak sabar.

"Untuk apa? Jangan berbuat yang macam-macam!" ucap Abimana tegas.

"Untuk memotong rambutmu," Sudewi menatap Abimana jengah.

"Tidak perlu. Nanti potonganmu jelek."

Sudewi kesal. Ia menarik tangannya kembali dan melirik lipatan selendang yang ada di pinggang Abimana, siapa tahu laki-laki itu menyelipkannya di sana.

"Jelek tidaknya itu tidak penting. Yang terpenting membuatmu nyaman dan merasa tak terganggu," ucap Sudewi setelah menemukan benda tajam itu di lipatan selendang yang meingkar di pinggang Abimana.

Setelah mendapatkan pisau, Sudewi beranjak dari tempat duduk. Ia berjalan mengitari dahan pohon yang tadi ia duduki, lantas berdiri di belakang Abimana.

Terpaksa, Abimana melepas cepolan rambutnya. Rambutnya yang panjang kini tergerai.

Segera, Sudewi segera memotong rambut Abimana dengan sungguh-sungguh. Pisau Abimana yang tajam mempermudah gadis itu melakukan kegiatannya.

Setelah lima menit berlalu, Sudewi selesai memotong rambut laki-laki di depannya menjadi cepak. Ia meletakkan pisau itu di samping Abimana.

Kemudian, Sudewi berdiri di depan Abimana, dan merapihkan rambut pendek laki-laki itu. Kali ini Abimana jauh lebih tampan dari sebelumnya. Sudewi hampir tidak mengenali laki-laki di depannya.

"Sudah?" tanya Abimana yang membuat lamunan Sudewi terbuyarkan.

Gadis itu buru-buru mengangguk. "Sudah." Kemudian, ia kembali duduk di samping Abimana. Kembali menikmati pemandangan matahari yang hampir seluruh bagiannya tenggelam, membuat langit mulai gelap.

Tiba-tiba saja hening. Mereka berdua tidak mengeluarkan suara apapun.

"Seandainya, di luar sana ada laki-laki yang diam-diam mencintaimu bagaimana?"

Sudewi menoleh. Ia berpikir sejenak, antas menjawab, "Aku akan memintanya untuk berhenti mencintaiku karena aku hanya akan mencintai Hayam Wuruk."


Abimana tersenyum simpul mendengar balasan Sudewi yang sangat meyakinkan itu. Ia berdiri.

"Sebaiknya kita pergi dari sini," ucap Abimana.

"Pulang ke Daha sekarang?" tanya Sudewi sambari mendongak karena dirinya nasih duduk di dahan pohon yang roboh.

Abimana menggeleng yang membuatnya mengernyitkan dahi.

Ia memandangi punggung laki-laki itu yang kian menjauh. Abimana berjalan menghampiri kuda coklatnya yang terikat di pohon.

Sudewi memlih beranjak dari tempat duduknya. Ia

"Memangnya kita mau ke mana jika tidak pulang ke Daha sekarang?" tanya Sudewi yang kini berjalan ke arah Abimana.

"Kita akan bermalam di desa yang ada di daerah sini," ucap Abimana yang membuat Sudewi kembali menautkan kedua alisnya.

"Kenapa tidak langsung pulang saja?" tanya Sudewi heran.

"Sangat disayangkan jika melihat matahari tenggelam, tapi tidak melihat matahari terbit." Abimana selesai melepas ikatan kuda. "Naiklah."

"Tapi, aku belum bilang kepada Ayahanda jik-"

"Aku sudah mendapatkan ijin dari beliau, Dewi. Tenang saja."

Dengan ragu, Sudewi mendekati kuda gagah itu. Abimana meraih pinggang Sudewi, lantas menaikkan tubuh gadis itu ke kuda. Sama sepeeti tadi sore, dirinya sedikit ketakutan. Setiap kuda itu bergerak sedikit, ia memegangi bahu Abimana.

Abimana mengambil sebuah obor dari dalam kantong kain yang ada di kuda, lantas ia menggesekkan dua batu yang ada di dekatnya. Setelah muncul percikan api, ia dekatkan sumbu obornya dengan percikan api tersebut. Dalam hitungan detik, obor tersebut telah menyala dengan api berukuran sedang.

Abimana menaiki kudanya. Tangan kanannya membawa obor, sedangkan tangan kirinya menyentak tali kuda itu. "Hiyaa!"

Kuda gagah itu berjalan dengan kecepatan sedang. Bulu kuduk Sudewi berdiri karena merasa takut. Berkuda di malam hari? Hal iti tak pernah terpikirkan olehnya.

"Kau kedinginan?" tanya Abimana yang teringat bahwa Sudewi tak lagi memakai selendang untuk menutupi bahunya yang terbuka.

"Tidak terlalu," balas Sudewi dengan pandangan lurus ke depan.

Tak lama kemudian, kuda yang dinaiki mereka tiba di sebuah perkampungan kecil. Cukup terang karena setiap rumah terdapat obor yang menyala di pagar pekarangannya. Ada beberapa penduduk yang masih menikmati udara malam sambil bercengkrama di salah satu dipan yang ada di bawah pohon mangga. Mereka menoleh saat mendengar ringkikan dan derap kaki kuda.

Abimana turun dari kuda dan meletakkan obornya di dekat gapura perkampungan. Kemudian, ia menurunkan Sudewi dengan hati-hati.

Setelah itu, ia mengikat kudanya ke dahan pohon mangga yang ada di dekat gapura, mereka berdua berjalan masuk, menghampiri tiga pria yang tengah duduk di atas dipan yang ada di bawah pohon mangga tadi.

"Abimana, kau kah itu?" Seorang pemuda yang terlihat seumuran dengan Abimana berjalan mendekat.

"Benar, Cakra. Ini aku. Abimana," balas Abimana sambil tersenyum.

Pemuda tadi tersenyum lebar, lantas memeluk Abimana. "Kau datang juga setelah sekian lama, Kawanku."

Sudewi hanya memandangi kedua laki-laki yang terlihat akrab itu.

***

Kamis, 8 April 2021

PadukasoriWhere stories live. Discover now