13. Kabar Baik

599 130 6
                                    

Bulan Srawana/ Juli

Hayam Wuruk berjalan menuju balai paseban. Bulan purnama yang tidak ditutupi gumpalan awan, sinarnya menerangi halaman keraton. Dilihatnya dari jarak cukup dekat, Mahapatih Mada menghadap ke ibundanya di sana. Ia bertanya-tanya, untuk apa ibunya memintanya ke sana?

Berhenti bertanya-tanya di dalam hati, Hayam Wuruk berjalan memasuki paseban. Para prajurit yang berjaga di luar pendhopo itu menunduk hormat.

"Ada perlu apa Ibunda memintaku ke sini?" tanya Hayam Wuruk setelah menunduk hormat kepada ibundanya.

Tribhuana yang tadinya duduk di singgasana kini berdiri, menyambut kedatangan putranya. "Ibunda tengah membicarakan pesta srada dengan Mahapatih Mada. Duduklah."

Hayam Wuruk menurut. Ia duduk di kursi yang ada di dekat Tribhuana. Kemudian, disusul oleh Tribhuana dan Mahapatih Mada.

Tribhuana tersenyum. "Ibunda memutuskan kau yang mengadakan upacara srada untuk Rajapatni"

Hayam Wuruk menggeleng. Alangkah lebih baik Ibunya yang melakukan upacara itu untuk Rajapatni.

"Sebaiknya, Ibunda saja," balas Hayam Wuruk sopan.

"Ibunda yakin, mendiang nenekanda akan merasa senang jika kau yang melakukan itu untuknya."

Hayam Wuruk berpikir sejenak. Sepertinya yang dikatakan oleh ibunya benar. Neneknya pasti sangat mengharapkan dirinya yang melakukan pesta sadra.

"Baiklah, Ibunda," balas Hayam Wuruk menyanggupi permintaan Tribhuana.

***

Kesokan harinya, para pembesar pemerintahan berkumpul di balai manguntur untuk membicarakan maksud Hayam Wuruk yang akan mengadakan pesta chradda (nyadran) untuk Rajapatni, neneknya. Semua pembesar pemerintahan duduk rapih di lantai balai mengantur, sementara Hayam Wuruk duduk di singgasananya. Mahapatih Mada berdiri di sampingnya. Pertemuan itu juga dihadiri oleh Tribhuana.

"Perintah Sang Rani Sri Tribhuana Wijayatunggadewi supaya pesta srada Rajapatni dilangsungkan oleh baginda Sri Rajasanagara di istana pada bulan Badra. Semua pembesar dan wredda menteri diharap memberi sumbangan," ucap Mahapatih Mada yang berdiri di samping Hayam Wuruk dengan ramah.

Keputusan itu disambut ramah oleh para tetua.

Sorenya, datang para pendeta, para budiman dan menteri yang dapat pinjaman tanah dengan Ranadiraja sebagai kepala. Bersama-sama membicarakan biaya dengan Hayam Wuruk di balai manguntur. Segalanya telah direncanakan dan dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.

***

Sudewi yang tengah duduk bersama Indudewi di paseban. Mereka berdua minum teh melati, setelah lama tidak bersama. Kakaknya itu telah menjadi Bhre Lasem dan menikah dengan Rajasawardhana, Bhre Matahun. Sehingga, mereka berdua jarang bertemu.

Sudewi mengernyit saat melihat kereta pedati masuk ke halaman keraton. Ia melihat ayahnya, Kudamerta, di sana.

"Ayunda, Ayahanda tadi pergi kemana?" tanyanya kepada Indudewi.

Indudewi menoleh. Kemudian, ia meletakkan cangkir tehnya." Ayahanda pulang dari Majapahit."

Sudewi yang baru saja menengguk teh melati kini tersedak. Telinganya sedikit sensitif saat mendengar kata "Majapahit". Tenggorokannya menjadi sakit akibat tersedak.

"Untuk apa Ayahanda ke sana?" tanya Sudewi kepada sang kakak.

"Entahlah, Dewi." Indudewi mengedikkan bahu.

***

Waktu makan malam pun tiba. Kudamerta, Rajadewi, dan Sudewi menempatkan diri di meja makan. Indudewi telah kembali ke Matahun bersama Rajasawardhana tadi sore.

"Bulan depan, Baginda Rajasanagara akan mengadakan upacara srada untuk Rajapatni," ucap Kudamerta kepada istrinya.

Sudewi yang mendengarnya langsung memfokuskan pendengarannya. Memasang telinga baik-baik.

"Kalau begitu, kita akan ke Majapahit," balas Rajadewi yang membuat Sudewi bersemangat. Ia akan sangat senang untuk pergi ke Majapahit. Selain dapat bertemu dengan Hayam Wuruk, ia juga dapat bertemu dengan Abimana. Lihat saja, ia akan memberi kejutan kepada laki-laki yang menyebalkan itu.

"Kapan kita ke ibukota Majapahit, Ayahanda?" tanya Sudewi yang sejak tadi tidak sabaran. Ia berusaha keras untuk tetap bersikap biasa saja.

Kudamerta yang tadinya fokus makan kini menoleh. Ia tersenyum melihat putrinya bertanya. "Bulan Badra awal, yang berarti minggu depan kita berangkat ke Majapahit."

Sudewi mengangguk paham. Bisa dibilang itu waktu yang cepat, ia menjadi sangat tidak sabar.

Mereka bertiga pun melanjutkan makan malam.

Setelah makan malam, Sudewi kembali ke kamar ditemani oleh Gentari. Hatinya mendadak resah. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat bertemu dengan Hayam Wuruk. Mereka berdua bahkan tidak pernah saling sapa sebelumnya. Namun, balasan surat dari laki-laki itu membesarkan hatinya.

Sudewi menghirup napas dalam di depan jendela kamar lantas ia hembuskan perlahan. Bulan sabit yang ada di langit malam membuat suasana terasa syahdu. Kira-kira, apa yang sedang dilakukan oleh Hayam Wuruk saat ini? Begitulah pertanyaan yang ada di pikirannya sekarang.

Ia menjadi ingat dengan Abimana. Laki-laki itu pasti sudah terlelap di kasur.

***

"Sedang memikirkan apa, anak muda?"

Seseorang menepuk bahu Abimana yang membuat laki-laki itu menoleh. Menghirup udara malam adalah hal yang menyenangkan bagi laki-laki itu. Duduk menghangatkan diri di dekat api unggun di tengah halaman asrama prajurit Bhayangkara yang letaknya di belakanh keraton Majapahit.

Ternyata yang datang adalah Aditya, salah satu prajurit senior. Laki-laki yang sama gagahnya dengan Abimana itu ikut duduk.

"Tidak sedang memikirkan apa- apa," balas Abimana sambil menatap api unggun yang membulat.

"Kau tak pandai berbohong. Baiklah, jika kau enggan bercerita." Aditya terkekeh. "Apa yang mendorongmu untuk menjadi prajurit Bhayangkara? Dari wajahmu, kau lebih cocok menjadi bangsawan atau tuan tanah."

"Aku tidak terlahir menjadi dua-duanya," balas Abimana sambil memandangi bulan. "Aku hanyalah anak dari kusir keraton Daha."

"Setidaknya kau menjadi kasta ksatria sekarang." Aditya terkekeh. Beberapa saat kemudian, ia memandangi sebuah gelang yang melingkar di tangan Abimana. Sangat jarang seorang prajurit mengenakan aksesoris. "Itu barang berharga?"

Abimana menatap gelang yang melingkar di pergelangan tangan. Ia mengangguk.

"Dari orang tuamu?" tanya Aditya yang dibalas gelengan oleh Abimana.

"Tidak. Ini pemberian dari nimas Sudewi."

Kedua mata Aditya membulat sempurna. Ia tidak menyangka laki-laki di sampingnya diberi gelang oleh seorang bangsawan, sepupu raja Majapahit, malahan.

"Apa yang membuatnya memberimu gelang itu?"

Abimana mengedikkan bahu." Tanda pertemanan, katanya. Kami memang sudah dekat sejak kecil."

"Tapi kurasa tidak seperti itu. Apakah kalian tidak memiliki perasaan satu sama lain?" Detik berikutnya Aditya berdehem." Maaf, aku telah bertanya tentang urusan pribadimu. Tak usah kau hiraukan pertanyaanku tadi."

Abimana hanya tersenyum tipis. Entahlah. Apakah Sudewi memiliki perasaan terhadapnya? Ia rasa tidak. Gadis itu hanya menyukai Hayam Wuruk.

***

Selamat menunaikan ibadah puasa bagia yang menunaikannya.


Selasa, 13 April 2021

PadukasoriWhere stories live. Discover now