29. Kedatangan Nertaja

515 95 8
                                    

1357 M

Kabarnya rombongan dari calon mempelai perempuan akan datang hari ini, entah itu petang atau malam, Sudewi tidak tahu. Berjam-jam gadis itu duduk bersandar di kepala tempat tidur dengan kedua mata yang terus menatap kosong jendela kayu kamarnya yang terbuka. Dia bahkan sampai tak sadar jika matahari hampir tenggelam, langit bahkan mulai berubah gelap dengan semburat merah yang benar-benar membuat siapapun yang melihatnya dilanda oleh perasaan tak enak. 

Pertanda apa ini?

Sudewi menghela napas kasar saat mendengar pintu kamar diketuk. Gadis itu lalu beranjak dari tempat tidur dan melangkah pelan mendekati pintu dengan ekspresi dingin, suasana hatinya masih tidak sedang baik-baik saja. Terlebih lagi setelah ia menduga jika yang datang pastilah sosok laki-laki yang sangat ia benci sejak beberapa waktu yang lalu.

Pintu kayu yang dihiasi dengan ukiran indah itu telah dibuka oleh Sudewi, menampakkan seseorang yang jauh dari yang Sudewi kira. Dilihatnya Nertaja tengah tersenyum menatapnya. "Kubawakan makanan untukmu, Dewi. Kudengar sejak siang tadi kau tak keluar dari kamar. Sepertinya bibi dan paman terlalu sibuk dengan urusannya sampai tidak menyadari jika kau mengurung diri di kamar setengah hari ini," ucap Nertaja yang kemudian masuk ke dalam kamar diikuti oleh dayang yang membawa baki makanan setelah mendapat izin dari Sudewi.

Sudewi hanya tersenyum tipis.

"Aku minta maaf karena tidak bisa membantumu, Dewi." Senyuman manis yang tadinya ia kembangkan di luar kamar kini perlahan memudar, berganti dengan tatapan penuh kesedihan. Putri kedua dari Tribhuana Tunggadewi itu mengembuskan napas pelan.

"Untuk apa kau meminta maaf, Nertaja? Kau sama sekali tak berbuat kesalahan apapun." Sudewi tersenyum hangat seperti biasanya, tetapi Nertaja masih dapat menangkap kesedihan dari tatapan sepupunya tersebut.

"Kau baik-baik saja?" tanya Nertaja ragu.

Sudewi hanya mengungguk, meski sebenarnya hatinya tengah dilanda kegelisahan. Bukan tentang Hayam Wuruk dan juga acara pernikahan yang akan dilangsungkan nanti malam yang pastinya akan disambut bahagia oleh seluruh rakyat Majapahit, bukan, tetapi ada hal lain, dan Sudewi tidak tahu sumber kegelisahan itu. Perasaannya tiba-tiba menjadi tak karuan setelah mendapati jika bukanlah Abimana yang mengetuk pintu kamarnya tadi. 

"Dewi, bolehkah aku bertanya sesuatu kepadamu?"

"Tentang apa?"

"Akhir-akhir ini aku sering melihat Abimana berdiri di depan kamarmu, Dewi. Aku juga kerap kali mendapatinya terus meminta para pengawal untuk membiarkan dia tetap berada di depan pintu kamarmu, tetapi setelah kuamati, dia tak kunjung mengetuk pintu itu. Para penjaga sepertinya juga berulangkali berusaha mengusirnya. Dan satu hal yang kuingat sekali, bagaimana cara Abimana memandangi pintu kamarmu. Dia terlihat sangat tersiksa." Nertaja menatap Sudewi lamat-lamat. Ekspresi gadis itu seketika berubah setelah mendengar pernyataan dari Nertaja. "Kalau boleh tahu, apakah kalian sedang bertengkar, Dewi?"

Ruangan itu berubah lengang. Beberapa detik telah terlewat, tetapi Sudewi tak kunjung buka suara, begitu juga Nertaja yang masih setia menunggu jawaban apa yang akan ia dapatkan dari gadis yang berdiri di depannya saat ini. 

"Kau tahu, Nertaja, aku sangat membencinya." Ekspresi Sudewi kembali datar. Gadis itu lalu meminta para dayang yang tadinya berdiri di dekat pintu kamar untuk segera keluar dari sana.

Nertaja nampaknya sangat terkejut dengan pengakuan Sudewi. "Kenapa? Maksudku, apa yang telah terjadi? Kenapa kau membencinya? Bukankah kalian sudah berteman lama? Bahkan sudah saling mengerti satu sama lain."

"Kau tak akan mempercayai ini, Nertaja. Aku pun juga masih tidak menyangka dengan apa yang terjadi pada Abimana beberapa hari yang lalu." Sudewi menatap Nertaja dengan kedua mata yang memerah. Netra jernih yang biasanya menatap dengan lembut itu dipenuhi oleh lautan kesedihan. "Dia hendak melecehkanku, Nertaja!"

PadukasoriWhere stories live. Discover now