26. Bunga Asoka Sang Abimana

847 121 16
                                    

Suara ketukan pintu kamar membuat Sudewi terbangun dari tidur. Ah, tidak. Ia tidak tidur, melainkan hanya merebahkan diri sambil memikirkan sesuatu. Penasaran dengan sosok yang mengganggunya malam-malam begini, ia pun segera membuka pintu kamar. Dilihatnya seorang dayang tengah berdiri di depannya.

"Selamat malam, Nyimas. Ampun malam-malam begini saya mengganggu waktu istirahat Nyimas."

"Tidak masalah. Aku juga belum tidur. Jadi, katakan apa yang membawamu ke sini?" tanya Sudewi to the point.

"Saya diminta prajurit Abimana untuk memanggil Nyimas. Nyimas diminta untuk datang ke alun-alun selatan."

Kedua mata Sudewi berbinar. Laki-laki itu juga ingin bertemu juga ternyata. Baiklah, ia akan segera pergi. Setelah mengambil selendang untuk menutupi bahunya yang terbuka, gadis itu pergi sendirian meninggalkan istana. Ia tak perlu ditemani oleh siapapun karena alun-alun selatan sangatlah dekat.

Sepertinya musim penghujan akan segera tiba, mendapati suasana malam dihiasi suara guntur yang menggelegar ditambah kilatan petir yang membuat bulu kuduk siapapun berdiri. Angin yang berembus kencang membuat api pada obor yang ada di setiap sudut istana bergoyang-goyang.

Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya Sudewi keluar dari gapura utara istana. Namun, anehnya alun-alun tersebut sepi. Tak ada orang di sana. Dengan langkah ragu, ia berjalan mendekat ke pohon brahmasthana yang ada di tepi alun-alun.

Setibanya di samping pohon, belum juga ia mengedarkan pandangan untuk mencari sosok Abimana, lengannya ditarik hingga punggungnya menubruk pohon brahmasthana di samping. Hampir saja ia menjerit sebelum mengetahui siapa yang mendorongnya itu. Dia Abimana.

"Abimana, untung saja aku tidak berteriak tadi!" ucap Sudewi kesal. Sudah tahu dirinya merupakan orang yang mudah terkejut, Abimana masih saja mengagetkannya.

Sudewi memejamkan mata dan mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdetak kencang. Ia kemudian mendongak sambil menyilangkan tangan. Menatap laki-laki di depannya dengan eskpresi cuek.

"Kenapa kau memintaku datang kemari?"

Abimana terkekeh. Tangannya menangkup wajah Sudewi yang membuat Sudewi tercengang. Tatapannya lurus ke manik hitam milik Abimana.

Awalnya berniat untuk menjahili gadis yang berada di depannya, kini Abimana malah terpaku dengan Sudewi. Mereka bertatapan cukup lama, seolah-olah waktu berhenti berjalan.

Apakah Abimana boleh meminta lebih? Laki-laki itu tak ingin hanya sekedar sahabat bagi Sudewi.

Abimana langsung membuang pikiran itu jauh-jauh. Bukankah ia sudah meyakinkan dirinya untuk bisa memendam rasa yang ada? Namun, pemikiran itu selalu saja datang. Ia menjauhkan tangannya dati wajah Sudewi. Ia berdehem mencoba mencairkan suasana yang terasa canggung saat ini.

"Bagaimana kabarmu, Dewi?" tanya Abimana yang kini sudah tak lagi menunjukkan ekspresi jahilnya.

Sudewi tersenyum tipis dan mengangguk. "Yah, kau tahu kan, aku selalu baik-baik saja."

Abimana menaikkan sebelah alisnya saat melihat ekspresi Sudewi berubah. Ia merasa ada yang disembunyikkan oleh gadis itu lantaran Sudewi seperti orang yang kebingungan dan mendadak terus menunduk.

Abimana menghela napas panjang. Ia mengangkat dagu Sudewi dengan jari telunjuknya dan meminta gadis itu untuk menatapnya.

"Katakan apa yang tengah kau sembunyikan? Apa sesuatu telah terjadi padamu?"

Sudewi menjatuhkan diri di pelukan Abimana. Tetesan demi tetesan air mata mengenai bahu laki-laki itu. Tentu saja Abimana dibuat terkujut lantaran Sudewi mendadak menangis. Ia mencoba mendorong Sudewi untuk melihat wajah gadis itu, namun Sudewi malah mengeratkan pelukannya yang membuat Abimana menyerah. Tangan kekarnya mengusap-usap punggung putri Daha itu.

Bukannya tenang, suara isakan kian menjadi-jadi. Bahkan tangan Sudewi yang bergetar masih sanggup mencengkeram lengan kekar Abimana.

"Ternyata b—bukan dia..." ucap Sudewi di sela-sela isakannya hingga pengucapannya sedikit tidak jelas.

"Bukan dia? Siapa?" Abimana mengernyitkam dahi. Ia masih bingung dengan ucapan Sudewi yang tak lengkap.

Abimana mendorong tubuh Sudewi, kebetulan gadis itu tak mencengkeram kuat lengannya. Ekspresi Sudewi berubah seratus delapan puluh derajat dari beberapa menit yang lalu.

"Selama ini bukan Baginda Hayam Wuruk yang membalas surat-suratku, tetapi Nertaja," balas Sudewi yang terlihat sangat kecewa.

Entah kenapa, Abimana menjadi ikut sakit. Ia seperti merasakan apa yang dirasakan oleh gadis pujaannya itu.

"Lantas, apa kau membencinya sekarang?" tanya Abimana yang tidak tahu harus memberi tanggapan apa mengenai pernyataan dari Sudewi.

"A—aku tidak tahu." Sudewi menggeleng samar. "Aku sangat mencintainya, Abimana, tapi aku juga merasa kecewa."

Sakit. Itu yang Abimana rasakan saat ini saat mendengar kalimat itu terucap dari bibir tipis Sudewi. Walaupun dada rasanya sesak, ia tetap mencoba baik-baik saja. Ya, ia masih baik-baik saja.

Untuk saat ini.

"Jika rasa cinta terhadap Baginda Hayam Wuruk melukaimu, berhentilah mencintainya. Aku tidak mau melihatmu terluka lagi." Abimana mengusap air mata yang membasahi pipi gadis di depannya dengan lembut.

"Sepertinya aku tidak bisa, Abimana. Aku sangat mencintainya, d—dan rasa cintaku terhadapnya sudah sangat lama." Sudewi meyakinkan dirinya sendiri. Ia pasti bisa berusaha lagi.

"Apa kau yakin?"

Sudewi mengangguk. Dari ekspresinya, gadis itu benar-benar yakin. Abimana yang melihatnya hanya bisa tersenyum, walaupun sebenarnya ia mengharapakan gadis itu berkata 'aku tidak yakin'.

Sudewi segera tersadar dengan tujuan laki-laki itu memintanya ke mari.

"Abimana, kau mengajakku bertemu di sini hanya untuk menanyakam kabar?"

Laki-laki itu menggeleng dan menarik sudut bibirnya hingga membentuk senyuman. Tangan kanannya merogoh lipatan kain yang menyilang di tubuh. Sudewi memperhatikan apa yang diambil oleh Abimana.

"Kebetulan daerah yang kami takhlukkan kemarin memiliki seorang pengrajin yang handal. Ki Widarmo, namanya. Aku memesan ini untukmu," ucap Abimana sambari menyodorkan sebuah benda kepada Sudewi.

Kedua mata Sudewi berbinar melihatnya. Sebuah aksesoris rambut yang terbuat dari logam berlapis emas dengan motif bunga asoka berwarna merah. Terlihat cantik sekali.

"Ini sangat indah, Abimana." Sudewi menerimanya dengan raut bahagia. Jemarinya mengusap-usap motif bunga asoka tersebut. "Kau yang meminta untuk dibuatkan, bukan? Kenapa memilih motif bunga asoka di aksesoris ini?"

"Karena kau seperti bunga asoka, Dewi. Sangat suci."

Dan penuh cinta.

Sudewi hanya manggut-manggut sambari menatap jepit rambut tersebut.

"Kau menyukainya?"

"Um," balas Sudewi. Gadis itu mendongak dan menyerahkan benda itu kepada Abimana. "Tolong pasangkan ke rambutku."

Abimana menerimanya, lalu memasangkannya ke rambut Sudewi di bagian kanan. Kebetulan gadis itu menggerai rambutnya saat ini. Gadis itu terlihat cantik. Ah tidak, tetapi sangat-sangat cantik.

"Bagaimana? Cocok, tidak?" Gadis itu meraba-raba jepit rambut yang baru saja dipasang oleh Abimana ke rambutnya.

"Cocok."

Setelah itu, Abimana memutuskan untuk mengajak Sudewi kembali ke istana. Hari mulai larut, dan ia tidak mau angin malam membuat gadis itu kedinginan. Cukup lega rasanya melihat Sudewi tak lagi bersedih.

***

Hallo, selamat malam. Apa kabar kalian? semoga baik-baik aja ya.
Maaf udah lama nggak update cerita ini. Sebagai gantinya, malam ini aku double update, dan ke depannya aku usahakan untuk sering update.

Selamat membaca ya...

Jumat, 13 Agustus 2021

PadukasoriWhere stories live. Discover now