15. Jelek

531 119 4
                                    

Malam harinya, Sudewi duduk di mandapa yang ada di halaman keraton. Di bawah mandapa itu terdapat kolam yang cukup besar dan di permukaan airnya terdapat bunga teratai yang kebetulan bermekaran. Ia merendamkan kakinya di kolam tersebut. memandangi pantulan dirinya dari dalam air.

Walaupun hari sudah larut, para dayang dan pesuruh masih sibuk bekerja.

"Kau belum tidur, Dewi?"

Sudewi menoleh. Seorang gadis yang berpakaian sama dengannya berdiri di depannya. Ternyata Nertaja.

"Belum." Sudewi menggeser posisi duduknya. Kemudian, ia menepuk-nepuk bagian di samping. "Duduklah bersamaku."

Nertaja mengangguk. Ia duduk di samping Sudewi.

"Tadi, aku tidak sengaja melihat kau ada di barak prajurit Bhayangkara. Untuk apa kau ke sana?" tanya Nertaja kepada Sudewi.

"Oh itu. Aku mememui temanku yang kebetulan seorang prajurit Bhayangkara," balas Sudewi yang kemudian kembali mengarahkan pandangannya ke kolam.

Kedua mata Nertaja berbinar. "Pasti menyenangkan rasanya mempunyai teman."

Sudewi menggeleng yang membuat Nertaja mengernyit. "Dia itu menyebalkan."

"Setidaknya kau tidak merasa kesepian, Dewi."

Sudewi menoleh. Ia tersenyum dan menunduk. Ia menjadi teringat sesuatu. Semenjak kepergian Abimana tujuh tahun yang lalu, hari-harinya sedikit berbeda. Ia menjadi kesepian, bukan berarti dirinya tidak bermain dengan Arumbi dan Sekar, hanya saja ada yang kurang. Tidak ada yang menjahilinya lagi.

"Aku merasa kesepian jika tidak ada dirinya."

"Itu tandanya dia sangat istimewa bagimu, Dewi."

"Dia temanku, pastilah istimewa," balas Sudewi.

Nertaja mengangguk mengerti.

"Apakah kau sering berkirim surat dengan orang lain selain kakandaku, Dewi?"

Sudewi menggeleng. "Tidak. Aku hanya berkirim surat dengan kakandamu saj-"

Kedua mata Sudewi memicing. Bagaiamana Nertaja bisa tahu jika dirinya sering berkirim surat dengan Hayam Wuruk?

"Bagaiaman kau bisa tahu jika aku berkirim surat dengannya?" tanya Sudewi yang memasang raut penasaran.

Nertaja yang tersadar dengan ucapannya barusan, memutar otak. Berusaha mencari alasan. Tidak mungkinkan jika ia menceritakan yang sebenarnya, jika selama ini yang membalas surat dari Sudewi adalah dirinya.

"Kakanda selalu bercerita kepadaku, Dewi. Ya, dia selalu bercerita tentang apa yang kau tulis di surat itu."

"Benarkah?" Kedua mata Sudewi berbinar. Ia tidak menyangka Hayam Wuruk sampai bercerita kepada Nertaja.

Nertaja tersenyum simpul. Ia telah berbohong lagi. "Benar."

"Apa kesukaan kakandamu itu?" tanya Sudewi yang kini mulai tertarik untuk menggali lebih informasi mengenai Hayam Wuruk. Kesempatan ini tidak boleh ia buang sia-sia. Mumpung adik seorang laki-laki yang ia cintai berada di dekatnya.

"Kesukaan?" Nertaja berpikir sejenak. Sebenarnya, ia tidak terlalu tahu apa kesukaan kakandanya itu.

"Kakanda sangat suka menari dan berburu."

Sudewi tak pandai menari, apalagi berburu. Melihat kuda saja sudah membuatnya bergidik ngeri.

"Apakah ada yang lain? Makanan atau benda."

PadukasoriDonde viven las historias. Descúbrelo ahora