25. Rindu

503 101 4
                                    

"Dewi!"

Panggilan tersebut berhasil membuat langkah Sudewi terhenti. Perempuan itu merasakan dadanya terasa sesak. Ia tak menyangka sepupunya itu akan membuatnya kecewa.

Karena tidak fokus, Sudewi menjadi tidak tahu sejak kapan Nertaja sudah berdiri di depannya. Terlihat rambut perempuan itu yang digerai sedikit berantakan karena habis berlari.

"Kau habis dari mana?" tanyanya disertai senyuman yang merekah.

Sudewi mencoba tersenyum walaupun hatinya terasa amat sakit.

"Dari manguntur."

"Untuk?" tanya Nertaja lagi.

Bukannya menjawab, Sudewi malah menggeleng dan akhirnya pergi melewati Nertaja begitu saja.

Nertaja pun berbalik, memandangi kepergian sepupunya dengan raut heran. Kenapa gelagat perempuan iti tidak seperti biasanya? Ia terlihat ... marah.

Tak mau menebak dengan apa yang telah terjadi, Nertaja memilih untuk menyusul perempuan itu, berharap mendapatkan jawaban. Ia akhirnya berdiri di hadapan Sudewi dengan tangan mencekal lengan peremouan itu, memintanya berhenti melangkah.

"Dewi, kau kenapa?"

Sudewi menatap cekalan tangan Nertaja, lantas memandangi wajah perempuan itu.

"Aku tidak tahu kenapa kau melakukan hal itu kepadaku, Nertaja. Kenapa kau tega mem- permainkanku?" tanya Sudewi dengan ekspresi kecewa. Ingin ia marah, tapi tak bisa. Tak ada gunanya meluapkan segala kekecewaannya kepada Nertaja, yang ada Sudewi menyesal nanti.

"M-melakukan apa?" Ekspresi Nertaja berubah bingung. Namun, seketika ia tersentak. Ia berharap yang dimaksud oleh Sudewi bukan masalah balasan lontar-lontar itu.

"Pantas saja jika balasan lontar-lontar sangat berbeda dengan sifat Baginda." Sudewi tersenyum miris. Mentertawakan nasibnya yang terlihat menyedihkan.

Sudewi benar-benat pergi meninggalkan Nertaja di halaman manguntur. Gadis itu masuk ke istana bagian dalam.

Keesokan harinya, Sudewi bersama keluarganya kembali ke keraton Daha. Hampa. Itu yang Sudewi rasakan saat ini. Berhari-hari ia hanya melamun di pendhapa keraton Daha. Ada rasa kosong, di sisi lain ada rasa kecewa.

"Ternyata kau ada di sini, Dewi. Ibunda sejak tadi mencarimu tapi tidak ketemu juga."

Suara Dyah Wiyat membuat lamunan Sudewi terbuyarkan. Gadis itu menegakkam punggungnya yang sejak tadi dalam posisi bersandarkan pilar pendhopo. Rambutnya yang tergerai beriap-riap diterpa angin yang berembus kencang. Ia menyelipkan anak rambutnya ke atas telinga.

"Ada apa ibunda mencariku?" tanya gadis itu yang hendak berdiri, namun segera dicegah oleh Dyah Wiyat lantaran wanita itu hendak bergabung duduk.

"Tidak ada apa-apa. Hanya saja sudah lama ibunda tak menikmati waktu bersama denganmu."

Sudewi tersenyum mendengarnya. Memang benar mereka berdua sudah lama tidak memiliki waktu bersama, bahkan gadis itu sudah lupa kapan terakhir ia bercengkrama berduaan bersama sang ibunda.

"Ibunda lihat kau sedang melamun tadi. Apa yang kau pikirkan? Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" tanya Dyah Wiyat mencoba terbuka.

Sudewi menggeleng samar. "Tidak ada, Ibunda."

Dyah Wiyat mengerutkan alis. Ia masih tak percaya. Bukan Sudewi namanya jika selalu melamun. Wajar saja jika Dyah Wiyat beranggapan begitu, lantaran puteri bungsunya itu selalu melakukan kegiatan apapun yang baik, tidak sendirian melamun seperti ini.

"Ibunda tidak percaya. Ayolah, katakan apa yang mengganjal di benakmu?"

Sudewi terdiam sejenak. Tangannya memainkan ujung selendang berwarna jingga yang dipakainya.

"Dewi hanya rindu dengan Abimana."

Dyah Wiyat tertawa kecil mendengarnya yang membuat Sudewi menaikkan sebelah alis. Ia tak tahu kenapa ibunya mendadak tertawa.

"Kau aneh, putriku. Baru juga Abimana pergi kemarin, kau sudah rindu berat layaknya seorang isteri merindukan suaminya yang tengah bekerja saja."

Mendengar hal itu, Sudewi menggaruk-garuk rambutnya yang tak gatal.

"Dewi juga tidak tahu kenapa merasa ada yang kosong." Dewi hanya menjawab singkat. Ia sendiri tidak mengerti diri sendiri.

***

Setelah satu bulan lama tak bertemu dengan Abimana, kabar baik datang. Pasukan Bhayangkara yang melakukan ekspedisi telah kembali ke Ibukota Majapahit dengan membawa kemenangan telah menaklukkan sebuah daerah. Belum juga lengkap Kudamerta memberitahu kabar tersebut ke Sudewi, gadis itu langsung gembira. Akhirnya ia dapat berjumpa lagi dengan Abimana.

Setelah mempersiapkan segala keperluan, keluar Kudamerta berangkat meninggalkan Daha menuju ibukota Majapahit. Cukup memakan waktu yang lama, sehingga membuat Sudewi terlelap.

Saat membuka mata tahu-tahu kereta kudanya memasukki purawaktra Majapahit. Matahari telah condong ke arah barat yang berarti hari mulai petang. Terlihat beberapa prajurit siap siaga berjaga di depan gapura masuk. Seperti sebulan yang lalu, suasana istana terlihat sibuk. Semua dayang mengurus tetek bengek untuk perayaan nanti malam.

Admajaya menghentikkam kereta tepat di dekat gapura istana. Kemudian, Sudewi turun dari kereta kuda setelah Kudamerta bersama ibunya. Melihat keadaan yang ada, sepertinya para prajurit yang telah pulang tengah beristirahat di barak prajurit.

Sudewi mendesah pelan. Ia sangat tidak sabar untuk berjumpa dengan Abimana nanti.

Malam pun tiba. Suasana istana bisa dibilang cukup ramai. Para prajurit Bhayangkara juga mulai berkumpul di pandhapa, tempat pesta diadakan. Hayam Wuruk berbaik hati menyuruh para juru masak untuk menghidangkan makanan yang lezat-lezat, namun tak lupa juga maharaja Majapahit itu membagikan makanan kepada rakyatnya.

Sudewi yang belum bertemu dengan Abimana memutuskan untuk berdiri di kejauhan dan sesekali mencari-cati sosok Abimana dengan pandangannya. Saat ini ia ada di dekat pohon asoka yang berada tak jauh dari pendhapa.

Ketemu!

Sudewi dapat melihat Abimana duduk di bagian tengah-tengah. Laki-laki itu tengah menyantap makanannya dengan tenang, sesekali mengobrol dengan sesama prajurit di sebelahnya.

"Abimana." Sudewi memanggil dengan setengah berbisik yang tentu saja tak dapat didengar oleh Abimana. Sudewi berdecak karena menyadari tingkah konyolnya.

Terpaksa ia menyerah dan kembali ke dalam istana.

***

Jumat, 13 Agustus 2021

PadukasoriWhere stories live. Discover now