31. Tragedi di Lapangan Bubat

752 94 15
                                    

Setelah dirasa benar-benar tidak ada orang, Sudewi memutuskan untuk kembali ke istana. Ia sungguh merasa penasaran, ke mana perginya para prajurit itu. Mungkinkah mereka dikerahkan ke lapangan bubat? Tetapi, kenapa semuanya?

Setibanya di istana, Sudewi menanyai beberapa pelayan ataupun prajurit yang berjaga tentang ke mana perginya semua prajurit Bhayangkara. Namun, mereka hanya tahu jika beberapa prajurit Bhayangkara ditugaskan untuk menjemput rombongan di pasanggrahan bubat, entah sisanya ada di mana.

Karena tak tahu harus mencari Abimana ke mana, akhirnya Sudewi memutuskan untuk tetap tinggal di istana, menunggu laki-laki itu datang.

Hingga beberapa jam lamanya, Sudewi tak mendapati adanya tanda-tanda jika sosok yang ia tunggu sejak tadi tiba. Sebenarnya lapangan bubat tak terlalu jauh dari istana, tetapi kenapa lama sekali?

Sudewi menghela napas panjang. Melalui jendela istana, gadis itu menatap jalanan ibukota yang dihiasi oleh barisan obor yang menyala terang. Kedua matanya lalu menyipit tatkala melihat seorang prajurit memasuki halaman keraton sembari menunggang kuda dengan tergesa-gesa.

Sudewi bergegas keluar dan melangkah menuju halaman ketika melihat prajurit tersebut turun dari kudanya, lantas menunduk hormat kepada Sudewi, sebelum kemudian memasuki istana. Sudewi menangkap begitu jelas gurat kecemasan serta ketegangan di wajah prajurit tersebut.  Perasaan Sudewi pun menjadi tidak enak.

Sekali lagi, ia merasa penasaran. Gadis itu lalu mengikuti ke mana perginya laki-laki tadi yang ternyata kini telah berada di balairung istana untuk menghadap Hayan Wuruk.

Di dekat pintu masuk, diam-diam Sudewi mendengarkan.

"Ijinkan saya memberi kabar, Baginda."

"Silakan."

"Pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Mahapatih Mada telah menyerang rombongan dari kerajaan Pasundan, Baginda."

"Apa?" Hayam Wuruk tampak terkejut. Laki-laki berpakaian raja itu bahkan sampai berdiri dari kursi kebesarannya.

Tak berbeda halnya dengan Hayam Wuruk, Sudewi juga merasa terkejut mendengarnya. Gadis itu menggeleng dengan tatapan menerawang jauh ke luar keraton. Apa yang dikatakan oleh prajurit itu pasti tidak benar. Mahapatih Mada tidak akan melakukan hal itu. Jika itu benar, maka Abimana juga terlibat di sana.

Tanpa berpikir panjang, Sudewi berlari menuju pintu belakang keraton, tempat di mana kereta kuda biasa diparkirkan. "Ki, antar saya ke pasanggrahan bubat sekarang," ucap Sudewi panik. Tanpa menunggu balasan dari sang kusir, gadis itu langsung menaiki kereta kuda tersebut.

Setelah sang kusir mengangguk dan mulai menjalankan kereta kudanya, Sudewi duduk sembari menggenggam kuat aksesoris bunga asoka pemberian Abimana. Bibir gadis itu yang biasanya berwarna merah muda kini berubah pucat. Mulutnya tak henti-henti merapalkan doa, berharap tak terjadi apapun kepada Abimana.

Setelah melintasi jalanan ibukota yang di bagian sisi kanannya terdapat obor-obor yang menyala terang, sampailah kereta kuda yang ditumpangi Sudewi di sebuah lapangan yang begitu luas. Jantung Sudewi seakan berhenti berdetak kala menyaksikan pemandangan yang tersuguhkan di depannya.

"Ampun, Ndoro, bukankah lebih baik Ndoro segera kembali ke keraton saja? Sepertinya keadaan di sini sangat kacau."

Sudewi tak mengindahkan perkataan sang kusir. Gadis itu malah meminta supaya kereta kuda tetap dijalankan. Pemandangan yang tadinya hanya samar-samar kini terlihat jelas di mata Sudewi ketika kereta kudanya mulai menuju ke tengah-tengah lapangan.

Tenggorokan Sudewi tercekat. Ada banyak prajurit yang terkapar tak berdaya di tanah sekelilingnya. Tombak serta anak panah berserakan di mana-mana, ditambah dengan kepulan asap yang berasal dari obor yang tergeletak di tanah kini mulai padam. Suasana di sana sangat mencekam.

"B-berhenti," Sudewi berkata lirih, untung saja suaranya terdengar oleh sang kusir karena kereta kuda kini perlahan berhenti. Dengan kedua kaki yang lemas, gadis itu turun. Tubuhnya mematung untuk sesaat ketika menyadari jika terjadi peperangan yang tak seimbang di lapangan ini.

Tatapan Sudewi kemudian tertuju ke
Mahapatih Mada yang berdiri tak terlalu jauh di depannya. Napas pria gagah itu menderu, kedua matanya yang tajam menatap ke sekeliling. Tangannya memegang keris tajam yang telah berlumuran darah segar. Sudewi tak tahu darah milik siapa saja itu. 

Selanjutnya, kedua mata Sudewi menangkap keberadaan seorang gadis yang akan menjadi permaisuri Hayam Wuruk kini terkapar tak berdaya di depannya. Darah segar keluar dari dadanya yang tertancap sebuah keris.

Abimana.

Sudewi pun segera menatap satu per satu wajah prajurit Bhayangkara yang kini dipenuhi oleh raut penyesalan. Tak ada Abimana di antara mereka. Rasa panik kembali menghujam Sudewi. Dengan bibir bergetar, serta kaki lemas yang dipaksakan untuk melangkah, Sudewi menatap wajah para prajurit Bhayangkara yang terkapar di tanah.

"Nimas..."

Sudewi tak menghiraukan Mahapatih yang sudah ada di depannya. Gadis itu panik karena tak kunjung  menemukan Abimana.

"Abimana..." Sudewi terus memanggil dengan suara lirih. Gadis itu melewati sang mahapatih begitu saja, mengamati wajah-wajah para prajurit yang kini bersimbah darah.

Pandangan Sudewi lurus ke depan, tubuhnya berhenti bergerak untuk sesaat ketika melihat seorang prajurit yang duduk membelakanginya. Saat prajurit itu berbalik, cepat-cepat Sudewi mendekat. Laki-laki dengan wajah basah itu adalah Wira. Sudewi mengenalnya. Ia adalah teman Abimana.

"Abimana..." Sudewi  bersuara. "Di mana dia? Abimana tidak datang ke sini, bukan?" Tak dapat dipungkiri, Sudewi berharap sangat jika tak ada Abimana di antara prajurit Bhayangkara yang datang ke lapangan bubat. Ia harap laki-laki itu melarikan diri saat pasukannya diperintahkan untuk menyerang.

Wira tertunduk. Terlihat sekali jika laki-laki itu berusaha untuk tak menangis di hadapan Sudewi. "M-maafkan hamba..."

Sudewi menatap Wira tak mengerti. Suaranya bergetar. "Kenapa minta maaf? Aku hanya bertanya di mana dia?"

Tak menjawab, Wira memilih untuk bergeser ke kiri, membuat Sudewi mampu melihat siapa sosok yang berada di belakangnya.

"Abimana..." Air mata Sudewi langsung jatuh ketika mendapati tubuh Abimana tergeletak di depannya dengan luka bekas tusukan yang mengeluarkan banyak darah di perutnya.

"Ba-bagaimana bisa..." Sudewi menggeleng. Wajahnya kini berlinang air mata kala mendapati kondisi Abimana yang jauh dari kata baik-baik saja, terlebih lagi karena laki-laki itu tak kunjung membuka matanya.

"Abimana, bangun..." pinta Sudewi dengan suara serak. Berulangkali dia menggerakkan bahu Abimana, tetapi laki-laki itu tak bangun sama sekali.

"Nimas, Abimana sudah tiada. Jantungnya sudah tidak—"

"Tidak!" Sudewi langsung memotong ucapan Wira. Gadis itu menggeleng. Tidak. Abimana-nya pasti masih hidup. Laki-laki itu kuat, Sudewi mempercayai itu. Abimana tak akan mati hanya karena luka di perutnya, batin Sudewi mencoba untuk menyangkal kenyataan.

"Nimas..."

Sudewi kembali menggeleng. Isak tangisnya mulai terdengar. Gadis itu langsung mendekap tubuh Abimana, membuat selendangnya kotor akan darah sang sahabat. "Bangunlah, Abimana. Bukankah kau memintaku untuk menerima cintamu? Bangunlah, maka kita bisa menikah sekarang. Aku sedia menikah denganmu jika kau bangun..." Sudewi berkata lirih di sela isakkannya. "Tetaplah bersamaku, Abimana ...
K—kau tidak bisa meninggalkanku seperti ini....  Kau tidak boleh meninggalkanku sekarang..."

"Bukankah kau telah berjanji tak akan meninggalkanku?"

"Abimana, bangunlah...aku sangat mencintaimu..."

***

Minggu, 06 Maret 2022

PadukasoriWhere stories live. Discover now