34. Pikiran yang Terusik

618 36 2
                                    

2023

"Tidak!"

Kintan terkesiap. Dengan rambut sedikit berantakan, perempuan itu menghela napas sambil menyugar rambutnya sehingga menjadi sedikit berantakan. Ia mengembuskan napas, ternyata hanya mimpi buruk. Diliriknya jam tangan silver yang melingkar di pergelangan tangan. Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam.

Ia menoleh ke arah jendela kaca di sebelah kanan. Pemandangan langit Jakarta dari jendela kaca ruangannya telah gelap. Ia mengusap wajah sambil mencoba mengatur napas.

Aneh, apa yang dialaminya tadi hanya mimpi, tetapi dadanya terasa begitu sakit. Bahkan baru ia sadari pipinya basah oleh air mata. Ia kembali mengusap wajah untuk melupakan mimpi tersebut.

Tak mau memikirkan mimpi tadi, Kintan segera merapikan barang-barangnya, bangkit, lalu menuju toilet untuk membasuh wajah, agar rasa kantuknya hilang dan kembali terasa segar.

"Abimana... Abimana..." Kintan terus memikirkan nama sosok yang ada di mimpinya itu selama menyusuri lorong kantor yang tamaram.

Ia masih tidak percaya. Mimpi itu seperti nyata.

"Eh, Bu Kintan belum pulang?"

Kintan sedikit terperanjat melihat Pak Damar, salah satu satpam di kantor muncul di belokan lorong dengan senter yang menyorot ke wajahnya.

Mengetahui bahwa yang di depannya adalah sosok yang ia kenal, Kintan pun merasa lega.

"Tadi ketiduran, Pak," balasnya yang  kemudian berpamitan pulang.

Setelah sampai di parkiran gedung, Kintan segera menaiki mobil dan memutuskan untuk pulang.

***


Kintan merebahkan tubuh di kasur setelah beberapa menit yang lalu menikmati hangatnya air di bathup. Dalam keadaan masih mengenakan handuk kimononya, ia memejamkan mata.

Abimana

Matanya kembali terbuka. Tiba-tiba ia teringat dengan nama itu. Ia segera menggelengkan kepala guna melupakan hal tersebut. Ia memperbaiki posisi tidurnya, lantas kembali terpejam.

Kau sangat cantik, Dewi.

Astaga! Kali ini Kintan terbangun. Ia benar-benar terganggu dengan isi pikirannya. Kenapa mimpinya tadi masih membekas di pikirannya. Bukankah jika kita memimpikan sesuatu, kita akan cepat melupakannya?

"Jangan terlalu dipikirin, Kintan, itu cuma mimpi," ucapnya sambil menenangkan diri.

Perempuan berusia dua puluh enam tahun itu menarik napas panjang, lantas mengeluarkannya perlahan. Setelah cukup membuatnya rileks, ia kembali merebahkan tubuh, lalu menarik selimut hingga menutupi setengah tubuhnya.

***

Dalam hitungan detik, tubuh perempuan itu tercebur di laut dengan ombak yang tak ramah. Dalam keadaan tubuh melayang menghadap ke atas, ia dapat melihat gelapnya lautan. Dirinya begitu hampa, tak ada keinginan untuk berusaha keluar dari tempat itu. Ia memejamkan matanya, mengingat kembali masa-masa indah bersama sahabatnya. Ia baru sadar, bahwa laki-laki itu adalah rumahnya, tempat berbagi rasa suka maupun duka. Namun, ingatan itu beralih saat dirinya membenci Abimama.

Sudewi memilih membuka matanya kembali. Paru-parunya sudah tak memiliki pasokan oksigen. Ia memantapkan hati untuk mengakhiri hidupnya, tetapi matanya dibuat menyipit tatkala melihat di bawah sana, terdapat bayangan seseorang yang tidak asing. Sudewi bergerak ke bawah untuk memastikan penglihatannya tidak salah. Bayangan seorang laki-laki dalam keadaan telentang tak berdaya. Perlahan, bayangan laki-laki itu menjauh, semakin tenggelam.

PadukasoriWhere stories live. Discover now