03. ㅣPutra Mahkota

1K 158 9
                                    

Sudah tiga hari semenjak pendharmaan abu Gayatri. Walaupun begitu, suasana ibukota Majapahit masih berkabung. Semua rakyat Majapahit merasa sangat kehilangan atas kepergian Rajapatni.

Siang ini, Tribhuana mengadakan pertemuan dengan para tetua Majapahit di Balai Manguntur. Ia memutuskan untuk turun tahta. Sejak awal, singgasana Majapahit adalah hak Rajapatni. Ibundanya-lah yang memberinya hak kuasa untuk menjadi pemimpin. Karena Rajapatni telah tiada, maka Tribhuana telah menunaikan amanat ibundanya dulu. Oleh karena itu, ia merasa tidak berhak untuk menjadi penguasa di Majapahit lagi.

"Dengan ini, aku akan menunjuk putraku Hayam Wuruk sebagai raja Majapahit," ucap Tribhuana kepada seluruh tetua yang ada di Balai Manguntur.

Bukan persetujuan yang didapatkan oleh Tribhuana, melainkan bisik-bisik.

Amangkubumi Gajah Mada yang melihat perbuatan tidak sopan para tetua berdeham dan menatap tajam mereka. Itu sungguh tindakan tidak bermoral.

"Ampun, Rani, tetapi putra mahkota baru menginjak umur enam belas tahun. Bukankah itu terlalu muda?" Salah satu tetua memberanikan diri untuk bertanya.

"Aku sangat mengenal Hayam Wuruk. Walaupun ia masih terlalu muda untuk menjadi seorang raja, tapi aku sudah membekalinya sejak masih kecil. Ia merupakan laki-laki yang cekatan dan bijaksana. Aku yakin dirinya mampu. Lagi pula, Amangkubumi Gajah Mada yang akan mendampinginya. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan," balas Tribhunna yang duduk di singgasana kepada semua orang yang ada di manguntur.

Semua orang terdiam, tidak ada suara bisik-bisik lagi.

Tribhuanna yakin bahwa semua hadirin di Balai Manguntur tidak keberatan dengan kuputusannya untuk turun tahta dan digantikan oleh Hayam Wuruk.

Ia juga mengumumkan, bahwa penobatan Hayam Wuruk sebagai raja dilaksanakan minggu depan.

Setelah pertemuan berakhir, Tribhuana berjalan di halaman keraton, hendak kembali ke kamar. Namun, pandangannya tak sengaja melihat seorang laki-laki duduk menyendiri di dekat Kuil Siwa. Kuil itu letaknya tak jauh dari Balai Manguntur. Hanya berjarak sepuluh meter saja.

Tribhuana meminta pengawal yang mengikutinya pergi. Empat pengawal itu menunduk hormat, lantas meninggalkan Rani Majapahit.

Tribhuana kemudian berjalan ke arah laki-laki yang tengah duduk sendirian itu. "Ada apa putraku?" tanyanya saat berada di depan Hayam Wuruk.

Hayam Wuruk yang menyadari kehadiran ibundanya pun berdiri dan menunduk hormat.

Tribhuana tahu, ada sesuatu yang disembunyikan oleh Hayam Wuruk. Gelagat putranya tidak seperti biasanya.

"Ada apa?" tanyanya lagi.

Hayam Wuruk mendongak. "Aku tidak sengaja mendengar perbincangan pertemuan ibunda tadi. Aku belum siap, Ibunda."

Tribhuana tersenyum. "Ibunda tidak membutuhkan kesiapan darimu Hayam Wuruk, tetapi kemampuan. Ibunda yakin kamu sangat mampu. Bukankah kau selalu ikut dalam pertemuan yang ibunda adakan di Balai Manguntur? Kau pasti tahu apa yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin. Bahkan kau sering ikut dalam perjalanan Ibunda ke beberapa kadipaten di Majapahit."

Hayam Wuruk menghela napas berat. Memang, setiap Ibunya mengurus tetek-bengek pemerintahan, ia selalu memperhatikan. Jujur, ia tertarik dengan kegiatan yang ibundanya lakukan. Namun, tetap saja, ia belum yakin jika akan menjadi seorang raja.

PadukasoriWhere stories live. Discover now