-AA 18

17 7 0
                                    

Meninggal itu pasti namun bagaimana kita menghadapi kematian tersebut dengan ikhlas
.
.
.
.
-Achazia

Dengan cahaya remang-remang dan pencahayaan yang minim. Sosok berbaju hitam lengkap dengan penutup muka yang ia kenakan memasuki kamar kecil namun bersih. Melangkah pelan-pelan sehingga tak menimbulkan suara kaki.

Bug

Satu bantal membekap orang yang masih di alam mimpinya.

"Le-pas," ucapnya terbata-bata berusaha melepas bantal yang berada pada mukanya.

"Ka-u si-apa?" menahan nafasnya dari bekapan bantal tersebut.

"Kau harus mati!" ujar orang misterius.

"Se-sak." air matanya mengalir perlahan. Apa salah ku? Teror ini membuatku gila.

Satu tendangan mendarat pada punggung orang tersebut membuatnya terhuyung pada lantai. Bersyukur ada orang yang menolong nya.

Uhuk uhuk

Acha Menormalkan nafasnya, bekapan pada bantal nya membuatnya sesak nafas. Membuka matanya pelan-pelan.

"Lo gpp?" tanya Abri cemas. Abri bagaikan malaikat penyelamat baginya selalu ada jika di butuhkan.

Orang tersebut memegang punggungnya yang mengantam lantai dan tembok membuatnya meringis kesakitan.

"Ab-bri gue takut." cicit Acha menahan tangis dan sesak di dadanya.

"Ada gue lo tenang aja," ucap Abri menenangkan Acha.

Brug

Ketika Abri sedang mengkhawatirkan Acha orang itu mencari kesempatan memukul kepala Abri, Abri meringis menahan sakit pada kepalanya. Tak puas melihat Abri meringkuk kesakitan, orang tersebut terus memenerus membabi buta sehingga membuat Abri babak belur.

"Stop! tolong jangan sakiti Abri hiks," teriak Acha.

"Lo siapa brengsek!" ucap Abri memegang kepalanya yang terasa pusing akibat pukulan tersebut. Namun saat ia ingin mengejarnya orang tersebut sudah berlari keluar kamar Acha.

"Bri udah jangan di kejar," ucap Acha menangis seraya membangunkan Abri untuk berbaring pada kasurnya dan mengobati lukanya.

"Cha, lapor polisi." parau Abri membalas erat peluka Acha. Mengusap punggungnya berusaha menguatkan gadis nya. Namun Acha menggeleng tidak setuju untuk melaporkan orang tersebut pada polisi. Menangis diam dalam dekapan Abri menjadi ketenangan tersendiri.

"Gue bisa tuntasin ini semua Bri, selagi ada lo," ucap Acha melepas pelukannya.

"Tapi Cha, teror ini sudah membahayakan lo." sanggah Abri seraya memegang lukanya sendiri. Acha tersenyum paksa.

"Udah gpp gue bisa"

"Ada gue Cha, lo akan baik baik aja selagi gue bersama lo." mengusap air mata Acha yang menetes membasahi pipinya.

"Sekarang gue obatin luka lo ya." pintanya melihat luka pada Abri. Abri mengangguk.

Abri menolong Acha tepat waktu, untung orang tersebut tidak sekuat yang ia kira. Karena Abri gusar mengkhawatirkan Acha akhirnya ia kerumah Acha dan tidur di luar untuk memastikan Acha baik-baik saja tanpa sepengetahuan Acha. Kekhawatiran nya terbukti ketika ada orang yang diam-diam menyelinap masuk ke kamar Acha. Abri tak sengaja mendengar suara seseorang yang melangkah menggunakan sepatu.

"Sakit ya?" tanya Acha seraya mengobati luka tersebut. Abri menggeleng.

"Lain kali hati-hati Cha, nyawa lo lagi di incar sama seseorang. Gue ajarin lo bela diri ya," ucap Abri.

"Meninggal itu pasti namun bagaimana kita menghadapi kematian tersebut dengan ikhlas." Acha tersenyum setelah mengatakan itu. Meniup pelan luka pada wajah Abri membuatnya sedikit meringis.

Persetan yang membuatnya harus berpura-pura kuat di depan segerombol umum.  Layaknya baja yang tetap kokoh meski di hantam apapun.

....

"Sial! kenapa ada yang menghalangi gue!" umpatnya membuka penutup muka dengan kasar.

"Dari mana kamu?" tanya pria paruh baya mendadak muncul mengagetkan wanita tersebut. Untung ia sudah menyembunyikan penutup kepalanya. Pria paru baya tersebut adalah Andi prahasta prasetia.

"Ah itu aku dari rumah temen aa keperluan," elak wanita itu dengan raut wajah yang dibuat-buat seolah tak terjadi apa-apa.

"Malam-malam gini? Jangan - jangan kamu melakukan sesuatu kan," tuduh pria tersebut seraya melihat intens gerak-gerik wanita di depannya.

"Aku capek, enggak usah ngajak ribut!" ujar nya lalu pergi kekamar untuk mengistirahatkan tubuhnya yang masih terasa sakit akibat tendangan yang Abri berikan.

Andi gusar tentang firasatnya akan sesuatu, sejauh apapun dia jika sudah menyangkut darah dagingnya maka ia akan merasakan nya. Andi memang pengecut lari dari tanggung jawab nya. Apa ia masih bisa di sebut sebagai ayah?

Apa gadisnya masih menerima permintaan maafnya? Atau justru menajuhinya.

"Pah, belum tidur?" tanya Jino menuruni anak tangga dengan maranya yang masih sayu akibat mengantuk namun ia paksa untuk turun karena haus.

"Papah belum menyelesaikan pekerjaan papah" Jino manggut-manggut mengerti. Segera ia mengambil air putih dan meneguk dengan sekali tegukan. Melihat Andi masih menatap letopnya dan jarinya mengutak-utik keyboart seraya matanya melihat dokumen-dokumen yang berada di atas meja.

"Jangan di paksain pah, ini udah malam." Jino mengingatkan. Andi melihat kearah anaknya yang bukan darah dagingnya namun tetap ia sayangi. Sedangkan bagaimana keadaan anak kandungnya di luar sana? Apakah dia masih hidup? Apakah anak nya itu sehat?

"Ayah kalau nanti nindi udah besal ayah akan melihat nindi sukses ya," seru gadis kecil berumur 4 tahun dengan ucapan nya yang masih cadel.

"Cita-cita nindi apa sayang?"   tanya Andi semasa muda dengan penuh kasih sayang. Nampaknya gadis itu memikirkannya.

"Cita-cita Nindi mau mencali kebahagiaan dan menjadi sumbel bahagia bagi orang-orang yang aku sayangi."  Nindi mencium kening ayahnya seraya mengusap rambut nya dengan lembut.

"Dengerin ya gadis nya ayah cita-cita itu contohnya bukan mencari kehabagian tapi misalnya jadi guru, dokter, polisi, polwan dan lain-lain."

"Owh gitu toh yah, ya udah nindi mau jadi doktel aja cupaya bisa menyelamatkan banyak olang. Kalau aku sudah menyelamatkan, pasti olang tersebut bahagia kan." gadis itu berujar dengan wajah ceria nya.

"Ayah kebahagian Nindi itu hanya bersama ayah dan ibu. Kalau enggak ada kalian beldua bagaimana aku bisa bahagia?" ucap gadis itu berlari menjauh dari pandangan Andi.

" Pah." Jino menyadarkan lamunan Andi tentang anak gadisnya yang masih menguasai fikirannya.

"Ah iya." Andi memalingkan wajahnya berusaha menghapus air matanya agar tidak di ketahui oleh Jino. Kemudia melanjutkan pada fokus pada pekerjaan nya sebelum waktu semakin larut malam.

Jino masih memerhatikan aktifitas Andi yang masih berkutik pada dokumen-dokumennya. Ia dengan seksama menatap mata Andi lekat.

"Aku lihat mata papah ko mirip seperti temen aku ya," ujar Jino teringat pada Acha. Sama persis mata Acha seperti milik Andi.

Deg

Apa ini tanda setelah sekian lama ia tak melihat gadisnya? Apa ini akhir dari pelariannya karena melindungi anak nya?

Achazia Where stories live. Discover now