-AA 27

23 6 3
                                    

"Sebenarnya gue sama Jino..." ucapan Citra terpotong saat ia melihat 3 preman yang memiliki badan besar  dan tampang yang sangar mendekati mereka berdua.

"Lari Cha, lari." Citra gelapan takut preman itu akan semakin mendekati mereka. Acha yang lemot masih tetap tenang berdiri sedangkan Citra dengan ancang-ancang untuk berlari. ia menunjuk isyarat untuk melihat kebelakang,  akhirnya Acha menengok arah yang Citra maksud.

"La-lari." Acha menarik tangan Citra dan berlari sekencang mungkin namun percuma 3 preman itu sudah mengepungnya dengan tertawa yang menurut Acha itu mengerikan. Walaupun mereka bisa beladiri tetap saja akan kalah melawan mereka. Bayangkan saja 3 lawan 1, bukannya mereka yang menang melainkan mereka yang akan tepar di rumah sakit.

Saat satu preman itu maju Acha menelan salivahnya, ia dan Citra perlahan mundur, "Mau apa kalian, jangan macam-macam sama kita!" peringat Acha seraya menutupi rasa takutnya.

Preman-preman itu semakin tertawa, mereka melihat Acha dan Nashi dari atas sampai bawah membuat Acha dan bergidik ngeri, "Serahin barang-barang kalian." suara salah saty preman itu.

"Cha gimana ni?" tanya Citra semakin takut.

"Lo bawa duit nggak?" Acha ketar-ketir, Citra menggeleng menandakan bahwa ia tidak membawa uangnya sama sekali, semua uangnya ada di tas yang tertinggal di rumah Abri karena Citra tak sempat membawa tasnya dan langsung pergi.

"Tenang bang, mang, bapak, eh apalah itu." Acha menyengir menampakan gigi putih ratanya, "Kita damai ya, gue nggak bawa duit." sambungnya.

"Serahin duit lo!" tegas preman itu.

"Udah di bilang enggak bawa duit." Acha tak kalah sewotnya.

"Banyak omong." salah satu preman itu mulai menyerang Acha dan Citra, untungnya mereka menghindar.

Kini Citra dan Acha memisah melawan preman masing-masing. Dengan lihai tangan Acha menepis preman dengab brewok tebalnya. ia meninju perut preman itu,Namun preman itu belum menyerah, preman itu meninjukan tangannya pada wajah Acha namun di balas olehnya dan di tepis tangan preman itu.  kini Acha yang membalaskannya dengan jurus ampuhnya yaitu dengan menendang milik preman itu. Jurusnya ternyata ampuh juga, titik sensitif preman itu merasa kesakitan. Akhirnya badan kekar itu tumbang dengan perlahan ke bawah.

"Banyak omong," suara Acha menirukan ucapan preman itu seraya memonyong-monyongkan mulutnya.

"Tangan cantik gue jadi jontor gini." di satu sisi Acha senang karena preman itu tumbang oleh tangannya sendiri namun disisi lain Acha merasa sakit pada tangannya.

Acha terkejut saat melihat Citra menahan sakit pada di wajahnya akibat luka lebam.

"Citra awas." teriak Acha saat preman tersebut membawa sebatang kayu besar yang menjadi senjatanya untuk melawan Acha dan Citra. Dengan kencang Acha berlari melindungi Citra.

Buk

Acha memberikan badannya untuk melindungi Citra saat kayu itu memukul kepalanya. Acha merasakan sakit mulai terasa saat kayu itu memukulnya. Pusing di kepalanya terus berputar-putar, Citra segera memapah Acha yang kesakitan.

Acha melihat banyak bintang  yang berputar-putar pada kepalanya, "Kenapa banyak bintang jatuh di atas kepala gue." suara Acha sedikit terkekeh. Saat keadaan kaya gini, Acha masih saja bergurau. Kesadarannya mulai hilang, Acha menutup matanya dan tubuhnya terkurai kebawah karena Citra sudah menahannya namun Acha pingsan. Preman yang melihat Acha pingsan, ia segera pergi dari tempat itu.

Saat itu Abri, Arkan dan Jino menyusul mereka mencari kesana kemari, karena mereka sempat di kejar oleh preman, jadi mereka lari dan jauh dari tempat Abri.Akhirnya mereka datang tepat pada waktunya. Abri terkejut melihat Acha terkurai lemas, ia berlari menghampiri Acha

"Acha, lo kenapa!"  suara Abri nampak panik, begitupun dengan mereka yang melihat Acha begitu tak berdaya. Kepala Acha, Abri pindahkan di atas pahanya dan menepuk-nepuk pipi Acha.

"Acha lo baik-baik aja kan?" tanya Nashi terisak.

"Buruan bawa ke rumah sakit yang deket dari sini." Arkan sama halnya seperti Abri, ia khawatir dengan keadaan Acha saat ini.

"Rumah sakit disini jauh banget. Ada nya klinik," Abri nampak masih menepuk-nepuk pipi Acha berusaha untuk membangunkan gadis itu.

"Ya udah buruan bawa Acha sekarang." Nashi memerintahkan Abri.

Arkan berusaha membopong Acha namun di tahan oleh tangam Abri, "Biar gue yang bopong dia!" tegas Abri.

Sesampainya di depan klinik mereka langsung memasuki klinik itu dan membaringkan Acha di ruangan bernuansa serba putih. Mereka keluar dari ruangan itu dan duduk sembari berdoa untuk Acha.

"Kalian heran gak sih kok pasiennya kebanyakan orang hamil semua ya." Nashi menggaruk kepalanya yang tak gatal melihat ibu-ibu yang sedang duduk dengan mengelus-elus perutnya. Ada juga ibu-ibu yang tertidur karena mengantri. Tak hanya Nashi,  mereka berfikiran sama terheran dengan klinik ini.

"Mungkin mereka sedang menambahkan manusia dengan pesat." celetuk Jino tak ambil pusing. Ucapannya mendapat jitakan dari Abri.

Wanita dengan seragam serba putih tadi yang memeriksa Acha kini keluar, mereka berdiri dan menunggu ucapan wanita itu.

"Suaminya ada?" tanya wanita itu. Mereka yang tak mereka masih tak membalas perkataan wanita itu.

"Suami gadis itu ada?" ulangnya sekali lagi.

"Dia masih SMA, Dok. Belum punya suami," jawab Abri.

"Saya bidan bukan dokter," ucap wanita itu.

"Hah bidan." ulang Nashi.

"Gadis itu tidak hamil juga tidak keguguran." penjelasan wanita itu. Mereka yang mendengarkan masih mengerti.

"Ini klinik kesehatan kan?" tanya Abri.

"Bukan, ini klinik kandungan," jawab bidan berumur 39 tahun itu. "Gadis itu baik-baik aja, jadi kalian boleh membawanya pulang." Sambung bidan itu dan berlalu pergi.

Tak

Nashi menjitak kepala Abri.

"Lo gimana sih, org sakit kepala takutnya geger otak karena kena pukul. malah di bawa ke klinik kandungan," sewot Nashi. Citra telah menceritakan semuanya apa yang terjadi pada Acha dan dirinya.

"Mana gue tau, gue aja belum pernah kesini." Abri menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Bukannya kepala di rontgen  ini malah di USG." celetuk Jino.

"Lebih baik kita masuk kedalam melihat keadaan Acha." lerai Arkan dan diangguki oleh mereka.

Acha kini sudah tersadar dari pingsannya namun pusingnya masih terasa.

"Masih pusing?" tanya Nashi. Namun Acha menggeleng. "Gue khawatir banget tau Cha." sambungnya dan memeluk Acha yang masih lemas.

"Kalau di peluk gini, gue bakal mati nih,"  ucap Acha merasa sesak karena di peluk erat oleh Nashi, Nashi terkekeh.

"Gue dimana?" tanya Acha, mereka menggaruk kepalanya secara serempak yang tak gatal.

"Itu gara-gara Abri, lo ada di klinik kandungan." Nashi menunjuk Abri sebagai dalang masuknya Acha ke sini.

"Klinik kandungan." Acha tak mengerti, Selang beberapa detik mereka tertawa terbahak. klinik kandungan yang seharusnya tentram kini terusik karena tawa mereka.


Achazia Where stories live. Discover now