-AA 20

20 6 10
                                    

Segaduh itukah ruang hatimu. Sehingga hatimu masih tertutup oleh dia yang tak menghargaimu.
Dalam malam, bayangmu selalu terbesit dalam benak ku.

Aku berusaha masuk ke dalam relung hatimu. Bukan singgah namun untuk sungguh. Bukan sesaat namun berlama. Sanggupkah diriku mengusir gelap dari hidupmu, atau aku lah penyebab gelap dalam hidupmu.


Angin malam menyentuh kulit putihnya. Deburan ombak yang begitu kencang, bintang berkilauan di atas langit. Berjalan menyusuri tepian pantai berjalan tanpa arah. Menatap lurus dengan mata yang lesuh.

"Argh..." Teriak cowok berbadan tinggi. Mengusap kasar rambutnya ke belakang. Masih berjalan dengan gontai layaknya orang mabuk, namun sebenarnya tidak mabuk hanya ingin meluapkan perasaan yang dipendamnya.

"Gue cinta sama lo, Cha." salahkah jika ia mempunyai rasa cinta pada sahabatnya sendiri.

"Gue mau lo tau kalau gue sayang sama lo," lirih Abri tubuhnya lunglai dan menjatuhkannya pada pasir putih di tepi pantai. Udara dingin membuatnya merasa ingin meluapkan apa yang ia rasakan.

Tentangnya. Gadis ku,
Menatap saat senyum itu merekah membuat jantung ku berdetak begitu cepat.
Secara perlahan kamu membuatku menjatuhkan hatiku padamu. Tentang caramu merebut hatiku dan di hancurkan berkeping keping karena ketidaktahuan mu tentang perasaan ku.

Kamu menjadi alasan utama senyum ini merekah.
Kamu perempuan pertama yang membuatku gila hanya karena tingkal konyolmu.
Kamu yang membuat hari-hari ku penuh warna.

Apa aku masih pantas menjadi sayap pelindungmu, di saat ada orang lain yang menarik perhatian mu.
Apakah disini aku yang akan perlahan pergi.
Apakah disini aku yang salah karena memiliki perasaan yang tak seharusnya ada.
Sepengecutkah itu diriku,
Sampai-sampai mengelak perasaanku sendiri.

Rasamu tidak akan pernah sama dengan ku.
Rasamu membuat ku paham arti dari mencintai secara sepihak.
Rasamu tak akan pernah ku miliki.

Hay langit malam
Bisakah kau mendengarkanku dari atas.
Bisakah kau memberikan pelangi untuk gadisku?
Membiarkannya menatap pelangi dan memiliki semangat hidup yang lebih berwarna untuknya.

Tanpa Abri ketahui perempuan di belakangnya sedari tadi merekamnya saat berbicara sendiri. Perempuan itu menyimpan kembali ponselnya pada saku dan berjalan pelan.

Matanya berkaca-kaca lega rasanya meluapkan semua perasaan yang selama ini ia pendam. Suara sepatu menyadarkan Abri akan kehadiran seseorang. Ia menengok kebelakang seorang perempuan tengah menatap lurus ke arah laut tanpa melihat Abri. Perempuan duduk di sampingnya dan menunduk mendekap lutunya sendiri.

"Lo, bukannya anak baru itu kan?" tanya Abri, perempuan itu mendoak menatap nya datar. Namun ia mengangguk.

Apa dia mendengar semuanya? batin Abri seraya memperhatikan perempuan yang tengah menatap laut. Citra melirik Abri yang tengah menatapnya.

"Apa," ucap Citra to the point.

"Lo ngapain disini? Ngikutin gue?"  Citra tertawa renyah mendengar penuturan Abri.

"Gue tau apa yang lo rasain." seru Citra, Abri mendengar itu  ia menelan salivahnya dengan susah payah.

"Kenapa lo bisa tau gue disini, apa yang selama ini yang gangguin Acha itu lo, kan!" tuduh Abri dengan tegas rahang nya mengeras.

"Gue baru masuk sekolah dan gue enggak tau apa-apa." Citra menggaruk tengkuknya yang tak gatal masih menjadi perannya untuk tetap merahasiakan sesuatu.

"Tapi gerak-gerik lo mencurigakan." Abri masih tetap menatap perempuan yang ada di sampingnya. Citra mengangkat bahu tanda tak perduli.

"Friendzone, terjebak cinta pada sahabatnya sendiri namun yang di cintai lebih memilih orang lain. Cinta itu hebat yah, bisa mengubah semuanya.Jika cinta bisa mengubah orang menjadi lebih baik, apakah bisa cinta mengubah dendam menjadi damai?" angin malam meniup rambutnya, sedikit menutupi paras cantik yang dimiliki Citra.

"Maksud lo?" tanya Abri tak mengerti apa yang di ucapkan Citra.

"Lo akan mengerti nanti." Citra berdiri dan mendekat pada Abri kemudian berbisik. " Nyawa terancam!" tubuh kekar itu membeku atas ucapan Citra, tatapan nya kosong membayangkan kejadian yang tidak di inginkan terjadi.

Di ruang tamu wanita paruh baya yang menunggu anak nya menemuinya untuk membicarakan hal penting tentang masalah yang menimpa Acha.

"Bun, maaf menunggu terlalu lama." ujar pria berumur 17 tahun, mencium tangan dan memeluk tubuh bundanya.

"Gpp, apa mereka masih mengincar Acha?" tanya wanita paruh baya bernama Aya jessika kepada anak pertamanya. Ia mengangguk menjawab pertanyaan Aya.

"Aku rindu Acha bun," ucapnya sendu, matanya beralih menatap figuran anak kecil berumur 4 tahun dengan cengiran menampakan gigi nya yang rata dan di sebelahnya berdiri anak laki-laki yang hanya berbeda 1 tahun dari usianya. Laki-laki itu merangkul bahu seseorang yang ada dalam figuran tersebut.

"Kamu tahan dulu kalau ingin bertemu Acha. Jika kamu gegabah pasti semua nya akan berantakan." Aya mengelus punggung anak lelakinya seraya menasehati.

"Iya bun aku ngerti, bahkan diam-diam aku menemuinya tanpa sepengetahuan bunda." ia tak akan pernah bisa jauh dari gadis itu.

"Kamu boleh diam-diam menemuinya namun ingat satu hal jangan terbawa suasana yang akan mengacaukan semuanya," ucap Aya dengan lembut menasehati anak nya agar dia mengerti membangun sesuatu itu tidak semudah yang di bayangkan namun menghancurkannya hanya butuh beberapa detik saja.

Ia berusaha mengerti apa yang bundanya bilang. Salahnya juga tak bisa memendam rindunya akan pelukan seseorang. "Kak ayo kejal aku." Fikirannya masih teringat betul akan 12 tahun yang lalu. Gadis kecil dengan ucapan nya yang cadel menurutnya lucu dan ingin sekali ia memilikinya.

Sejatinya perasaan tak akan bisa di kendalikan. Untuk siapa cintanya, untuk siapa sayang nya dan untuk siapa bencinya. Kebanyakan orang berfikir cinta hanyalah hal bersama-sama saja. Namun berbeda dengan yang aku alami, cinta bukan lah tentang hal kebersamaan saja namun cinta adalah pengorbanan untuk membuatnya bahagia. Meskipun tanpa dia tau aku disini yang merasakan sakit melihatnya bahagia bersama dengan orang lain.

Hening, tak ada yang berniat untuk berbicara lagi. Mereka nampak berdiam dengan fikirannya masing-masing. Pria itu bangkit dari tempat duduknya dan pamit kepada bundanya untuk tidur. Langkah kakinya pelan menaiki anak tangga dan memasuki kamarnya dengan nuansa warna hitam dan putih seperti hidupnya.

Achazia Where stories live. Discover now