10 | tanggap darurat

13.5K 1.8K 186
                                    

Pada mau marah gak, updatenya lama bangeet???


Alhamdulillah, Mail masih hidup.

Berkat sistem penarikan iuran keamanan dan kebersihan kompleks perumahan Gusti yang masih serba manual, hingga kedatangan petugas di kediaman Gusti berhasil membuat Mail kabur tanpa segores luka di badan.

Gila nggak tuh?

Mail sampai speechless.

Masa Gusti mau bunuh dia?

Seemosi-emosinya, nggak gitu juga kali. Mana Iis diam saja, nggak kelihatan mau mendamaikan suasana. Lagian, ini hari Senin, kenapa tuh budak korporat bisa ada di rumah, sih?

~

Dengan degup jantung nggak karuan, Mail tetap melajukan kendaraannya langsung kembali ke kantor, sadar masih banyak kerjaan.

Urusan jual beli tanah atau bangunan, hingga proses membangun atau renov total, sudah lebih dari lima kali Mail lakukaan, dan selama ini aman-aman aja, nggak pernah digoblok-goblokin orang. Tapi yang namanya musibah kan bisa datang kapan aja, jadi meski vendornya masih itu-itu juga, Mail nggak menganggap sepele. RAB tetap dia pelototi tiap barisnya, dia sesuaikan dengan progres pembangunan.

Setidak-tidaknya, kalau project-nya jauh begini, akan dia sempatkan menengok setiap dua minggu sekali. Makanya sekarang Mail pusing. Di saat dia harusnya terbang ke Bali, urusan Zora tidak ingin membuatnya pergi dari Jakarta untuk beberapa hari ini, dan urusan Trinda membuatnya harus ke Magelang secepatnya.

"Gue aja yang ke Bali, gimana?" Oscar menawarkan diri.

Biar kelihatannya nggak jelas begini, Oscar yakin dirinyalah yang paling paham selera dan cara kerja Mail. Makanya Mail awet mempekerjakannya dari zaman tu anak masih playboy bahlul nggak punya apa-apa sampe sekarang kalau mau Countryman baru tinggal bilang, nggak pake mikir.

"Kan tahun lalu pas lo galau juga gue yang bolak-balik ke Malang, malah keterusan jadi mandor sampe project kelar." Oscar melanjutkan.

Galau tahun lalu dibawa-bawa, Mail berdecih pelan. "Ilyas belum balik?"

"Belum. Mau gue telponin?"

Mail menggeleng. "Telponin Two Seasons aja. Sore ini gue bisa ke sana apa enggak."

"Potong rambut aja, kan? Paket yang biasa?"

"Iya."

Oscar manggut-manggut. "Buat besok gue cariin outfit yang agak cerah, ya? Biar shining shimmering splendid di atas panggung."

"Cerah maksud lo ini kuning apa oren?" Tapi kemudian Mail mengibaskan tangan, nggak peduli. "Sama cariin klinik yang bagus buat hapus tato. Di Jakarta aja, jangan yang jauh-jauh."

Selama beberapa menit tadi cuma manggut-manggut doang menanggapi perintah bosnya, yang terakhir ini membuat kedua bola mata Oscar membulat lebar-lebar. "Buat apan, coy?? Jangan ngadi-ngadi, deh."

Tato Mail cuma dua. Yang pertama berupa garis dari belakang leher sampai pergelangan tangan kiri, dibikin pas kuliah. Satu lagi belum lama, di area yang sama, memenuhi bahu sampai lengan bawah dengan ornamen dari langit sampai laut mengenai hobinya. Skydiving, off-roading, surfing. Tentu saja Oscar nggak setuju pada niat bosnya itu untuk menghapus. Wong pas bikin dulu dia yang repot nyolong-nyolong nyelipin nama Mail ke waiting list si tattoo artist-nya. Tau sendiri gimana repotnya nego-nego sama bule. Sekate-kate mau dihapus.

"Lagian yang mana sih yang mau dihapus? Nggak sinkron dong story-nya kalau ada yang di hapus. Mana bikinnya susah, sakit, mehong. Hapusnya susah, sakit, mehong lagi. Nggak usah aneh-aneh deh ya. Pake lengan panjang atau ditempelin body tape aja kalo mau sok alim. Nanti gue beliin body tape-nya."

Dated; Engaged [COMPLETED]Where stories live. Discover now